35| I Will Be Brave

24.8K 3.7K 6K
                                    

Jatah istirahatku sampai pukul sembilan pagi. Luar biasa kesiangan. Sementara Jeon bangun lebih awal, mandi, dan menyeduh kopi sendirian tanpa mengusikku. Mungkin merasa bersalah setelah mengurasku hingga lemas. Tentu saja, dia harus bertanggung jawab.

Tadinya ingin lanjut di sunroom. Berhubung cuaca memburuk, jadi terpaksa pindah ke rumah utama sebelum Jeon benar-benar melucuti seluruh pakaianku. Jangan pikir aku sudi berhenti setelah membiarkannya puas sendiri. Berakhir dua klimaks untuknya, dua kali untukku. Skor imbang.

"Good morning." Aku berkata serak setengah mengatuk, menguap lepas, dan tersenyum culas pada Jeon yang duduk menghadap meja dapur—menggarap sesuatu dengan iPad pada lengan kiri dan stylus pen yang tercekik dalam jemari kanan. Kacamata D-frame di batang hidungnya menjadi pemanis wajah.

Enggan rasanya berpaling. Berkedip pun terasa salah karena hanya menyia-nyiakan penampilan segarnya yang dibalut oblong dan kardigan putih impor. Semampai kakinya dibungkus jins biru tua panjang—sederhana, namun tidak mengusir tampilan eksekutif mapan empat puluhan.

Gambaran yang jauh dari kemiskinan. Syukurlah, hidup anak-anakku pasti terjamin.

Jeon melepaskan kedua benda tadi ketika aku berjalan ke arahnya dan membiarkan pahannya menanggung bobotku seperti koala.

"Morning, Sleepyhead." Bau mint menyeruak dari mulutnya, tapi aroma kopi lebih pekat.

"Ngantuk." Aku segera menyelipkan kedua tangan ke bawah ketiaknya, lalu memeluk punggungnya erat-erat. "Kenapa tidak tunggu aku bangun?" Berlagak manja, hanya dia yang bisa membuatku begini.

"Kerja." Dia menautkan kedua tangannya di belakang pinggulku seperti cara mengemong bayi.

Jantungku berdebar kencang ketika cuping hidungku menyentuh sensasi dingin di sekitar kulit lehernya. Aku masih lebih suka wangi ini daripada parfum yang dia berikan. "Tidak ke kantor?"

"Temani kau."

"Alasan," sindirku, lalu menjauhkan wajah dari pundaknya serta merta mencabut kaca mata dan melepasnya ke meja tanpa berpaling darinya. "Ingat filmku, kan? Besok. Jam tujuh malam. Sebelum itu kau sudah harus pulang. Aku harus memperkenalkanmu pada Sutradara Bong, kru film, awak media, dan semua orang—seluruh penjuru dunia bila perlu." Sungguh Clingy. Namun sisi ini tak pernah kutunjukkan untuk orang lain. "Mengerti?"

"Dimengerti."

"Cium," pintaku memejamkan mata. Jeon segera menyambut bibirku dengan ciuman pendek. "Cium lagi." Dan dia kembali mengabulkannya.

Ciumannya membuat hasratku terkumpul di satu titik. Aku mulai meringis ketika menyadari desiran tidak sabar di perutku. "Ayo morning sex. Satu babak. Dua atau tiga menit tanpa interplay."

"Tidak sekarang." Jeon tergelak.

Aku hanya sanggup melotot mendengar jawabannya, tidak tahu harus membujuk pria ini dengan cara bagaimana. "Kalau begitu... nooner?"

"Lihat nanti."

(Nooner: seks yang dilakukan pertengahan hari/usai lunch)

"Apa kau tidak suka?" Tanganku gatal untuk meraba dahinya. "Masalahnya aku jadi mudah terangsang meski cuma lihat kau tidur."

Dia hanya tertawa seolah omonganku hanya rayuan main-main.

"Tubuhku jadi gampang panas. Aku ingin kau menyentuhnya sesering mungkin. Kau tahu kenapa?"

"Peningkatan libido," sebutnya tanpa terdengar menggurui. "Sepagian aku bicara dengan dokter kandunganmu di telepon dan mencari beberapa rujukan. Memang ada beberapa kasus kehamilan dengan hormon estrogen dan progesteron yang tinggi. Bisa memacu aliran darah ke daerah panggul atau bagian sensitif lainnya. Semua itu mempercepat proses lubrikasi vulva."

OcéanorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang