14| More Than a Fever

40.2K 4.8K 1.9K
                                    

Mobil Lee Byung-Ha baru saja meninggalkan halaman rumah. Lee Byung-Ha merupakan dokter pribadi keluarga Jeon selama belasan tahun. Beliau bersedia datang pagi-pagi setelah Jeon memintaku menghubunginya.

Saat kembali masuk, aku melihat Jeon sedang duduk tenang menyandarkan punggung di kepala ranjang. Tetapi aku tahu pikirannya berkelana. Dia melihat meja kerjanya dengan serius. Aku mengikuti arah pandangnya, namun tak ada jawaban yang kutemukan.

Sementara dia terus merenung, aku melipat baju-bajunya dan menumpuk di siku ranjang. Sengaja kusiapkan beberapa potong pakaian supaya tidak repot bolak-balik ruang ganti kalau keringatnya membasahi baju lantaran belum tiga jam Jeon sudah ganti pakaian dua kali.

"Apa yang kau lihat?" tanyaku melipat sweter berwarna hijau lumut.

"Dokumen akuisisi," katanya setengah melamun.

Aku menatap sekilas map-map di meja. Entah kertas mana yang dia maksud dokumen akuisisi. "Ada masalah dengan dokumennya?" tanyaku usai melipat pakaian terakhir.

"Harus diantar ke kantor."

Seketika aku menghela tanpa mengatakan apa-apa, kemudian beranjak mendatanginya. Telapak tanganku menyentuh keningnya. Untunglah panasnya berkurang setelah minum obat. Kondisinya beberapa jam lalu lebih buruk dari ini. Keringat dingin tak henti-hentinya mengalir.

"Berbaringlah." Aku tidak bisa mengatakan bagaimana suaraku menjadi dingin. Tetapi Jeon harus tahu, dia membuatku khawatir. "Aku sudah menghubungi Jeongmin. Kalau ada yang kau butuhkan dia pasti datang."

Jeon tertawa dengan suara loyo. "Kau marah?"

Jeon terlanjur menyadari perubahan ekspresiku sebelum aku bisa menenangkan diri. Memang beberapa orang di sekitarku pernah bilang tiap kali marah, suara dan wajahku menunjukku segalanya.

Karena tidak kunjung mendapat jawaban, Jeon segera memegang ujung jari-jariku dan menggoyang tanganku ke atas dan ke bawah dengan pelan. Bukan dengan cara seperti anak lima tahun yang merajuk minta dibelikan sesuatu. Persisnya, seperti pria dewasa saat merayu.

"Lupakan." Aku merengut. "Aku lebih kesal pada diriku sendiri."

Ekspresiku mudah ditebak, maka dari itu Jeon tetap berusaha mengambil hatiku. "Kau kesal padaku," ucapnya sengau.

Aku merenggut napas kilat bersamaan dengan menjatuhkan diri duduk di bibir ranjang dengan tangannya yang setia mengamit jariku. Tuduhannya tidak sepenuhnya salah, tapi tidak sepenuhnya benar.

"Aku marah karena kau selalu sibuk kerja. Aku kesal karena kau selalu mengutamakan pekerjaan dibandingkan dirimu. Pada akhirnya aku sulit membujukmu istirahat."

Jeon menyimak celotehanku. Jemarinya bergerak menyelipkan rambutku ke balik telinga. Sedangkan mata sayunya menatapku tulus.

"Pada kesempatan-kesempatan tertentu aku jadi berpikir kau sedang menikahi pekerjaanmu."

Jeon tertawa sambil menggeleng.

"Jangan tertawa!" Aku mengantisipasi, merasa jengkel.

Dia berhenti tertawa meski senyumnya belum sirna.

Jempolnya mengusap jemariku. "Sekarang aku harus bagaimana?"

Bagian diriku yang egois menuntutku agar tetap diam. Namun ternyata bagian itu kalah.

Sebelum egoku membengkak aku menghela napas pertanda luluh. "Istirahatlah. Lupakan pekerjaanmu sampai sembuh." Ketimbang memohon, suaraku barusan lebih terdengar seperti keluhan. "Aku sudah kehabisan akal, Jeon. Aku tidak tahu bagaimana lagi caranya membuatmu diam di kasur atau bersantai melupakan berkas-berkas yang kau maksud."

OcéanorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang