33| Anger and Longing

20.6K 3.7K 4.7K
                                    

Antara pukul tujuh sampai delapan malam kami tiba di rumah setelah mengembalikan mobil kru ke bandara.

Sepanjang jalan Jeon lebih banyak memimpin percakapan; 'Mau makan malam apa?', 'Seafood keliatannya enak', 'Ada yang kau inginkan?', 'Sebelum itu, kita harus mampir beli susu' dengan kata-kata yang diucapkan penuh ketenangan. Di supermarket pun Jeon terus bertanya sambil mendorong troli; 'Mau camilan?', 'Mau es krim? Es krim tidak masalah untuk ibu hamil', 'Besok bagaimana kalau buat sup Miso?', namun aku akan menyangkal Jeon dengan gelengan singkat atau satu kata ringkas, "Terserah" dan "Boleh" dengan suara yang tak enak didengar. Jeon tahu aku marah, namun dia terus mengalah dengan segala sikap ketusku perihal surat Ae Jin.

Saat akan tidur, mataku sulit terpejam. Beberapa kali kubenahi letak tidurku dan berakhir menghadap sisi kanan, membelakanginya. Pandanganku mengawang jauh ke depan; ke antara kumpulan Bearbricknya hingga kurasakan ada jemari yang mengusap lengan telanjangku sebelum menarik selimut menutupi bahuku. "Perutmu masih sakit?"

Aku terus diam saat ia mulai meraba-raba perutku. "Kubuatkan teh kalau masih mual."

Dia terus bicara tapi aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Saat ini benakku menolak menerjemahkan arti kata-kata Jeon. Ucapannya hanya sebatas ritme bunyi. Sungguh tidak ada yang masuk akal. Jeon-ku pernah menikah, memalsukan status pernikahan, dan masih mencintai istrinya. Nanti akan ada apa lagi?

Apakah Jeon juga bercinta dengan istrinya? Di kasur ini? Seberapa sering? Aku membayangkan wajah Ae Jin dan Jeon di ranjang ini seperti yang tertulis dalam surat. Pikiran itu membuatku memejamkan mata cukup lama. Rasanya pening, seperti ada ratusan voltase yang menerjang kepala.

Shin Runa seperti surga. Aku ingin tertawa lepas.

Mana mungkin Jeon berbohong padaku. Sisi manusiawiku masih menolak segala macam kejanggalannya. Sejak kami berkenalan, aku menganggapnya selalu jujur. Setiap janji yang dibuatnya pasti ditepati. Setiap kali Jeon bicara selalu terselip kejutan. Dia juga sering membawakan hadiah untukku.

Sejak mengenal Jeon, aku tidak pernah curiga Jeon adalah tipe laki-laki yang bisa hinggap dari satu perempuan ke perempuan lain. Dia nyaris murni tanpa noda. Itulah mengapa aku selalu percaya padanya. Bahkan meski menolak, hatiku sekarang tetap percaya pada Jeon jika dia masih pria yang sama. Pria saat pertama kali kami berjumpa.

"Bicaralah," pintanya sambil menggeser tubuh dan meletakkan dagunya di bahuku tanpa menekannya. "Kau marah tentang suratnya?"

Aku menghela. "Tidak." Itu memang benar. Aku tidak marah padanya ataupun suratnya tetapi aku sendiri tak mengerti apa yang mengusikku.

Aku menghela lagi, lalu membuka suara bimbang dan mengubah posisi tidurku menjadi di  bawah tatapannya. "Boleh kutanya sesuatu?"

"Apa?" Jemarinya terus membelai perutku dan itu membuatku nyaman.

"Tentang hubungan kalian—kau dan Go Ae Jin."

Jeon tampak tak terusik dengan pertanyaannya. Sepertinya dia telah mempersiapkan berbagai jawaban dari apa yang kupikirkan. Tindakan cerdas, menunda waktu sampai aku bertanya. Dan tentu saja, tipikal Jeon sekali, menjawab jika ditanya. "Apa yang ingin kau tahu?"

Aku menunda sebentar sampai yakin bisa bicara. "Berapa lama kalian menikah?"

"Dua bulan," jawabnya tanpa harus berpikir. "Denganmu lebih lama."

Aku menarik napas dan tetap saja terasa berat. Semua ketakutanku terasa konyol sekarang. Aku memindai ujung rambutnya lantaran tak sanggup menatap matanya. Aku takut dibohongi lagi. "Sudah berapa lama saling kenal?" Ludahku menjadi sangat pahit, tapi suaraku terdengar mantap dan kokoh. Tidak menunjukkan gelagat batin tertekan, karena aku tahu apa pun yang dikatakannya hanya sebatas obat pereda nyeri, bukan penyembuh.

OcéanorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang