31| Two Letters From Two Women

21.4K 3.8K 5K
                                    

Aku kembali dari kantor polisi tepat pukul 5.22 sore. Mobil Porsche yang kukendari terparkir sepuluh meter dari bibir pantai. Tujuanku bukan pulang, bukan juga kembali menyusul kru ke Jeju. Aku sudah tak punya pikiran untuk berlibur.

Di mobil ini pun aku terus merenung sambil menyandarkan tubuh lelahku ke kursi. Biasanya aku berusaha memejamkan mata ketika pikiran penuh. Namun kali ini tak perlu. Ada krepuskular; di mana langit menjadi aram, tidak sepenuhnya gelap maupun terang. Kusam—warna tercantik iluminasi horizon—pelajaran yang kudapat melalui The Gay Science milik Nietzsche; tentang langit yang menawarkan kebebasan dalam horizon ketakterbatasan.

Sekarang aku mengerti maksud tulisan Nietzsche. Karena ternyata aku bisa lebih tenang berada di sini. Insiden yang terjadi hari langsung kuanggap seperti permainan sederhana. Tak akan ada lagi orang yang bisa merusak Jeon. Sejak dulu aku memang tak pernah sudi menerima kekalahan. Aku ingin menang dari Lee Hwi Ja.

Lee Hwi Ja harus tetap ada di dalam tahanan sampai akhir hidupnya, dengan atau tanpa adanya pengampunan. Itu saja, itu saja permohonanku. Bagiku itu saja sudah cukup adil untuk menebus penderitaan Jeon selama puluhan tahun.

Selanjutnya aku melirik ke kursi sebelah. Ada dua surat yang dilipat dengan tulisan di sisi luar pada salah satu kertasnya.

Dunia ini dipenuhi kepalsuan
Hidup adalah penderitaan

Wow! Pembukaan yang cukup menarik.

Namun sampai detik ini pun aku belum sanggup membacanya. Aku memilih mengambil surat yang berada ditumpukan kedua.

Saat ini tubuhku berkhianat, aku membuka dan melihatnya.

Apa pun yang tertulis di dalamnya, aku yakin rasanya sama seperti mimpi buruk.

Tiga tahun lalu kami bertemu. Dia pernah menjadi tamu motivator dalam salah satu seminar di kampusku. Usianya matang. Tapi bagiku yang saat itu masih menjadi perempuan muda, sangat sulit mengatakannya. Jadi aku membiarkan perasaanku lenyap pelan-pelan, persis seperti gadis sekolah dimabuk asmara gila, yang akan sesunggukan sepanjang jalan pulang karena putus cinta.

Aku berhenti membaca.

Dan saat itulah aku sadar surat ini ditulis oleh Go Ae Jin. Meskipun hatiku menolak membacanya hingga tuntas, sesuatu yang lain terus mendesakku.

Aku tidak berharap kami kembali bertemu. Tapi ternyata kami terus bertemu sejak hari itu.
Bukankah takdir selucu itu? Lalu apa kau tahu rasanya menyukai seseorang sampai perasaan itu tak tertahankan? Mungkin kau tidak mengerti, tapi semua menjadi lebih ringan setelah aku membuka diri padanya.

Kami mulai dekat seperti pasangan normal. Dia meluangkan sedikitnya waktu sepuluh menit dan itu adalah hal termanis bagiku untuk orang penting sepertinya. Kami juga memiliki banyak kegemaran yang sama, dia suka melukis, membuat banyak sketsa, dan kami pernah melakukannya berdua. Dia sering menggambar wajahku, dan aku melakukan hal yang sama. Mungkin itu sebabnya dia bisa menerimaku dengan mudah.

Musik-musik Pachelbel adalah lagu kesukaan kami. Karya Nietzsche adalah topik yang membuat kami betah mengobrol lama melalui sambungan telepon. Kami suka sains, dan hal yang paling aku suka adalah ketika kami maraton series Marvel atau Harry Potter sepanjang malam. Kami sama-sama menyukai dua film itu. Tiap minggu aku mengirimnya roti soboro karena itu makanan favorit kami.

Lihat, bukankah kami memiliki banyak kesamaan?

Dua tahun berikutnya kami resmi menikah. Aku merasa menjadi wanita paling beruntung. Dia melimpahkan banyak cinta. Namun setelah itu barulah aku mengetahui dia sakit. Kau mungkin sudah paham sakit yang kumaksud, Runa.

OcéanorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang