Sekantung es menjadi penolongku pagi harinya. Mataku sembab lantaran menangis terlalu lama.
Sakit sisa semalam pun masih ada. Aku tidak menampik sakitnya tertinggal.
Sakit melihat pagi ini Jeon kembali baik-baik saja. Tepatnya pura-pura. Padahal nyatanya bertolak belakang. Namun, setelah menghabiskan luapan tangis dan ungkapan luka, kami mencoba berhenti membahasnya.
Sepagian ini pula, mata Jeon ikut membengkak. Untungnya kami belum punya rencana pergi di akhir pekan. Mungkin kami akan menetap di rumah seharian. Karena aku tahu, hari Minggu bagi Jeon sama seperti waktu santai beberapa jam.
Sekarang Jeon tengah menghabiskan setengah paginya berenang. Dia membangung kolam renang dalam rumah yang tak jauh dari ruang gimnastik. Aku tahu, di Korea atau beberapa negara lain kolam berenang pribadi adalah simbol status. Jeon memang tak pernah sengaja menunjukkan apa-apa yang dimilikinya. Tetapi setiap apa yang dia miliki, seolah-olah memancing pujianku terlontar.
Dalam dua bulan ini aku juga hapal jadwal tetap olahraga Jeon di akhir pekan sebelum Senin. Minggu lalu dia memakai ruang kebugaran. Aku tidak tahu apa yang dia lakukan karena selalu datang satu jam berikutnya untuk mengantar camilan dan jus buah. Setiap kali aku datang, Jeon sudah menyelesaikan sesi latihan.
Kini aku baru selesai membuatkan Jeon camilan dari oats yang dicampur granola. Resepnya kupelajari dari internet. Proses memasaknya berlangsung 22 menit ditambah enam menit meracik smoothie berry yang kucampur dengan bubuk protein dan susu rendah lemak.
Jeon meminta petugas membelanjakan bahan dasar ini dua hari setelah kami menikah dan menyimpan banyak stok, dan membuatku tidak harus belanja karena makanan itu diantar setiap satu minggu sekali. Alhasil semua makanan di kontainer dan kulkas kami penuh dengan menu sehat penunjang berat badan. Alasan inilah yang terkadang membuatku segan mengajak Jeon makan di kaki lima.
Tanpa permisi aku berjalan meletakkan nampan ke kursi santai. Jeon menangkap kedatanganku dan keluar dari dalam air.
"Kau bisa lanjutkan aktivitasmu. Aku cuma mau antar makanan." Bisa kudengar suaraku menggema di tempat ini.
Dia tersenyum sambil mengusak-usak rambut kuyupnya. "Aku sudah selesai."
Saat dia mendekat, aku menemukan Jeon masih tersenyum. Dia tampak tidak terusik dengan kehadiranku. Namun, setiap langkahnya menimbulkan sensasi baru bagi jantungku.
Air-air yang mengalir dari tubuh berotot Jeon ditunjang celana renangnya membuat pikiranku berkelakar. Aku wanita normal. Sewajarnya, tak ada yang salah mengagumi bentuk badan suamiku dan berpikiran jorok. Tetapi keinginanku mulai keterlaluan.
Oh, Tuhan. Siapa pun tolong ingatkan aku agar tidak menubruk ke pelukannya. Ini terdengar gila. Tetapi dengan tubuh itu, aku bertaruh bisa menghabiskan seharian penuh dalam dekapannya. Dan jika dia meminta aku sanggup tidak beranjak dari kasurnya seharian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Océanor
Fiksi PenggemarBagaimana jika kau menikah dengan pria yang sulit disentuh meski dia adalah milikmu? • Aku mengalaminya. Aku sedang menjalaninya. Aku menikahi pria yang tidak tersentuh. Sering sekali aku bertanya, mengapa kami tidak bisa melakukan kontak fisik sepe...