Bagaimana jika kau menikah dengan pria yang sulit disentuh meski dia adalah milikmu?
•
Aku mengalaminya.
Aku sedang menjalaninya.
Aku menikahi pria yang tidak tersentuh.
Sering sekali aku bertanya, mengapa kami tidak bisa melakukan kontak fisik sepe...
Di sinilah kami sekarang. Aku menemani Jaemin makan di toserba setelah dia mengeluh lapar dan tak bawa uang. Kupikir dia telah meninggalkan kantor polisi sesaat setelah dia keluar.
Tanpa mengatakan apa pun, kuperhatikan wajah Jaemin saat makan mi instan. Dia menghabiskan semangkuk ramen dalam kurun waktu satu menit. Singkat. Seperti manusia gua yang tak tahu bahwa dunia punya aneka makanan lezat. Dia bahkan pernah memecahkan rekor makan kurang dari sepuluh detik. Anehnya, semua makanan itu enggan menjadi lemak dan daging.
"Sekarang ceritakan padaku." Aku menodong, ingin tahu cerita dari sudut pandang Jaemin. Emosi membuatku lupa menanyakan penjelasan dari sisinya.
"Dia yang mulai. Aku cuma pinjam beberapa kursi untuk acara. Tapi tiba-tiba dia melempar temanku dengan bola sampai hidungnya patah. Aku melerainya. Dia menyerangku dengan tinju berkali-kali."
Penjelasan itu langsung membuatku percaya. Luka wajahnya menjadi bukti dan sekecil apa pun perubahannya, aku tahu Jaeminku bukan predator yang haus mangsa. Takkan memukul tanpa alasan.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kemudian kutarik napas dalam-dalam dan menatapnya secara prihatin, sedangkan dia berusaha menghabiskan ramen kedua dengan lahap.
Malam itu tidak jauh berbeda. Hubungan kami tidak bertambahkan buruk setelah pertikaian di kantor polisi dan tentunya setelah Jaemin makan. Jaemin bukan anak yang mudah tersinggung apalagi marah berlarut-larut.
"Sampai kapan mau mengabaikan kuliahmu?" tanyaku begitu dia selesai makan.
"Kenapa Noona jadi cerewet? Aku lelah seharian kerja."
"Kerja?!" Mataku melebar, tak mengira dia membuka kejujuran ini. "Bekerja di mana? Sejak kapan?"
"Sambilan. Bantu teman di kafe. Sudah sebulan."
"Apakah uang yang aku dan ayah berikan belum cukup?"
"Kebal apanya!" Aku terlalu kesal hingga nyaris melempar kaleng bir kosong ke kepalanya. Tetapi aku sadar Jaemin sedang serius. Nada suaraku menjadi lebih pelan dan berubah perhatian. "Sebenarnya apa yang sedang terjadi denganmu? Ada masalah apa? Ceritakan padaku."
"Kuceritakan kalau situasinya pas."
"Se Jin Ah?" tanyaku asal tebak.
Dia menghela napas murung. "Hidupku tak ada kaitannya dengan artis itu."
"Rasa bersalahmu sudah hilang?"
"Belum. Tetapi setelah kucari tahu tentang gadis itu di internet, artis papan atas sepertinya pasti sulit ditemui meskipun kakakku berteman baik."
Mataku mengintai segala sikapnya. "Kau cuma mau minta maaf, kan?"
"Sudahlah. Lupakan saja."
Aku menarik napas kalut lalu mengembuskannya dibarengi desakan. "Baiklah, kalau begitu apa boleh buat. Besok. Pukul tiga sore. Se Jin Ah syuting di taman Seongnam, kalau masih merasa bersalah temui dia dan minta maaflah dengan tulus."