07| Sweet Little Lies

34.7K 5K 1.1K
                                    

Terkadang, pura-pura tidak mengetahui apa-apa lebih menguntungkan bagiku maupun bagi orang lain.

Selalu kutanam kalimat itu lebih sering daripada meneguk air. Sejatinya, belum terpikirkan untuk membahas pelukan Jeon dengan wanita tempo lalu. Takut merusak suasana.

Lagi pula aku bukanlah wanita gegabah. Aku terbiasa melihat segalanya dari sudut pandang berbeda. Semuanya bisa dilakukan bertahap. Nanti. Kucari tahu perlahan daripada masalahnya menjadi bumerang untuk kami. Tetapi yang pasti, perspektif Jeon akan kutempatkan paling akhir sesuai strategi.

Pukul sebelas malam kami tiba di rumah. Setelah itu tidak ada momen yang terjadi antara aku dan Jeon.

Sebelum kami masuk kamar masing-masing, aku memanggilnya, "Jeon?"

Pupil matanya melebar menungguku bicara tanpa kata-kata. Kelelahan bisa kutemukan dari air wajahnya.

"Kau tahu..." kugigit-gigit pipi bagian dalamku, bimbang sesaat, "kadang ada saja pria yang tak cocok mengenakan model pakaian tertentu."

Jeon mengedip satu kali. "Maksudnya?"

"Itu..." aku menggaruk bawah telinga kananku, "termasuk celana." Jariku menunjuk celananya dan berusaha tidak melihat ke satu bagian itu, sialnya aku banyak mencuri pandang saat di mobil tadi. "Apakah celana itu tidak mempersulitmu berjalan?"

Jeon menunduk, meneliti celananya sendiri lalu menggeleng. "Kenapa?"

"Kau tidak cocok pakai celana sempit."

"Tidak cocok?"

"Iya. Ukurannya terlalu kecil." Aku mengangguk seperti robot dan menahan diri agar tak melihat celananya meskipun keinginan itu terus mendesakku.

"Jadi aku tak pantas pakai celana ini?"

"Bukan!" teriakku spontan dan segera mengatupkan bibir. Aku sadar intonasiku membuatnya kaget. Selanjutnya kukembalikan tekanan suaraku. "Bukan seperti itu. Kakimu memang jejang. Kau tinggi, tentu saja cocok memakai banyak outfit. Tetapi bisa saja peredaran darahmu terhambat kalau pakai celana terlalu ketat."

Menunggu reaksinya, aku berdiri termangu dengan ekspresi yang menurutku seperti orang bodoh. Merutuk bahwa Jeon terlalu sering membuatku salah tingkah. Sementara itu dia masih diam. Aku mengerti apa pun yang akan Jeon katakan butuh pertimbangan. Aku membayangkan otaknya diriset untuk selalu berpikir kritis sebelum mulai bicara atau bertindak.

Sebagai jawaban Jeon mengangguk satu kali. "Akan kuganti."

Keputusannya membuatku lega. Sebelum berbalik menuju kamar kulihat Jeon tersenyum simpul. Teringat sesuatu, aku berhenti dan membalik badan lagi. Dia masih di sana. Biar kutebak Jeon menungguku masuk kamar.

"Malam ini kau akan tidur cepat kan?" Sewajarnya itu bukan pertanyaan, melainkan kompromi agar setelah mandi dia langsung tidur.

Jeon kelihatan mempertimbangkan, kemudian mengangguk mantap. Aku tersenyum lebar. Setelah itu kami menutup percakapan ketika dia meniupkan kata selamat malam.

Jika dipikir-pikir beginilah momen singkat saat kami berpisah di penghujung hari. Dan aku tidak suka. Aku jelas tidak suka ketika kami berpisah di rumah.

Semenjak menikah aku tidak pernah suka berada di kamar. Hal ini justru membuatku merasa sendirian lagi.



*****



Pukul setengah satu dini hari aku terbangun. Kerongkonganku kering menahan haus. Aku berjalan dengan tangan meraba sepanjang dinding mencari panel lampu, dan keluar setelah lampu menyala.

OcéanorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang