Sayup-sayup terdengar bunyi uap panas dari ketel. Selagi menunggu air mendidih, pikiranku memapah ingatan beberapa bulan lalu. Tentang aku dan Jeon. Tidak lama, tapi juga bukan waktu yang singkat.
Tidak ada yang spesial dari masa pendekatan kami. Setelah Jeon melamarku, sejujurnya kami jarang bertemu. Dia tetap bekerja, namun ada waktu dalam dua minggu atau satu bulan dia berkunjung ke rumah. Menyempatkan diri makan malam bersama keluarga atau mengirim banyak bingkisan.
Masa hubungan kami tak banyak menghabiskan waktu di luar. Aku hanya akan mengajak Jeon berbincang di serambi rumah atau duduk di taman sambil menunggu supirnya datang. Ini bukan disebut pacaran, aku pun tak punya penyebutan khusus ikatan kami. Hanya dekat, itu saja.
Rasanya canggung dan agak malu-malu. Kadang-kadang, dengan pikiran masing-masing kami terdiam cukup lama sampai ada salah satu dari kami yang mengatakan 'kau tahu' terkait hal apa pun yang bisa dibicarakan. Jeon lebih banyak memulai karena dia selalu punya topik lebih bagus ketimbang milikku. Pernah satu malam kami berjalan bersama di distrik lingkunganku setelah makan di kedai terdekat.
Singkatnya salju turun. Dia melepas mantelnya untukku. Sama sekali bukan adegan romantis. Katanya aku boleh mengembalikannya di lain kesempatan. Tapi celakanya aku kesulitan tidur sepanjang malam karena harum parfum yang melekat di pakaian Jeon. Dan malam itu kusadari ada hasrat baru yang kuinginkan dari seorang pria.
Namun, meskipun tampan, kaya, atau memikat (akui saja aku wanita normal) tetap tak mudah menerima pria yang ingin menikah denganmu begitu saja. Setiap malam aku bertanya pada ibu tentang keputusan ini. Entah berapa teman yang kutanyai, 'menurutmu, kalau pria seperti ini...' dan dilanjutkan 'apakah kau akan menikah dengan pria seperti itu?' lalu ditutup pertanyaan, 'jadi sebaiknya... aku harus menerimanya atau tidak?' untuk sekedar meneguhkan keyakinan.
Lalu kami pun menikah setelah usiaku menjejak 27 tahun. Benar-benar bukan waktu singkat, namun juga cepat dan semu.
"Runa, pisau cukurnya belum ketemu," ujar Jeon dari jarak jauh.
Oh, astaga. Aku menghela dalam-dalam. Seperti yang kukatakan, Jeon layaknya buku yang tidak dapat dirangkum dua atau tiga paragraf, tidak mudah diringkas hingga orang lain memahaminya. Dia punya banyak sesuatu yang belum kuketahui. Termasuk pagi ini.
Aku tidak mengerti apa yang salah padanya pagi ini—dia banyak bicara, ceroboh, dan serba ingin aku yang melakukan segala sesuatu untuknya.
"Kau sudah mencarinya di kontainer? Ada di kamar mandi."
Aku menunggunya beberapa saat sebelum bertanya, "Sudah ketemu?" Aku memastikan dan dia tidak lagi menjawab.
Aku mendesah. Rasanya seperti menghadapi Jeon yang baru.
Pagi ini dia memelukku lebih lama sebelum kami bangun, memintaku menggosok punggungnya saat mandi, ditambah harus memasangkannya baju. Saat dia memintaku melakukan itu semua aku langsung tahu ada sesuatu yang salah dari caranya bersikap.
Dia jadi lebih manis. Jeon yang manis.
Berselang waktu yang tidak bisa kuperhitungkan, dia sudah ada di dapur. Aku melihat caranya menggenggam tanganku dan merasa terganggu. "Aku harus menyeduh kopi. Lepaskan tanganmu."
"Americano cocok untuk hari ini," selorohnya.
Aku tertawa pelan. Kulihat janggut dan kumisnya sudah dicukur halus. "Lepaskan tanganku dulu."
"Cuacanya agak dingin, kan?"
"Lalu?" Aku mengangkat alisku mencoba tidak tersenyum.
"Jangan pergi, ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Océanor
FanfictionBagaimana jika kau menikah dengan pria yang sulit disentuh meski dia adalah milikmu? • Aku mengalaminya. Aku sedang menjalaninya. Aku menikahi pria yang tidak tersentuh. Sering sekali aku bertanya, mengapa kami tidak bisa melakukan kontak fisik sepe...