Pepatah bilang, dalam hidup terdapat dua pil. Pil pertama adalah pil biru yang membuat kita bahagia meski hidup dalam kebohongan.
Kedua, adalah pil merah membuat kita terluka ketika mengetahui sebuah kebenaran. Dan aku telah menelan keduanya.
Hari ini pun begitu. Aku seperti dijejalkan kedua pil itu sekaligus.
Engsel persendianku seperti diputus paksa satu demi satu, membuat setiap langkah yang kuambil menjadi semakin berat setelah Lana mengatakan mantan istri Jeon ada di tempat yang terjangkau olehku.
Aku mencoba menghirup napas dalam-dalam sebelum mendekati Nenek Lucy. Di bawah temaram bulan, taman ini bagaikan sebuah buku rahasia yang kehilangan kunci. Seperti terkungkung dan lepas dari jamahan tangan manusia, tapi juga asri. Lampu-lampu seperti sulur-sulur tanaman ivy dan berterbangan layaknya kunang-kunang, menyediakan penerangan hingga beberapa meter jauhnya. Ada bagian paling cantik ketika melihat indahnya kelasa langit terbuka, awan gemuk putih bergerak tenang, dan bintang-bintang mulai bermunculan satu demi satu bagaikan rongga-rongga kecil di kanvas gelap.
Hawa sejuk membebaskan kengerian hatiku dan berusaha tidak memikirkan hari esok. Jika memang kami harus bertemu, aku sudah mempersiapkan diri.
Dari tempatku sekarang, kulihat nenek Lucy sedang mengusap kelopak bunga sepatu yang warnanya masih muda. Menggunakan ibu jarinya, beliau mengusapnya penuh kasih. Sementara sebelah tangannya dilipat sebagai penyangga punggung. Tubuhnya sudah agak bungkuk. Tetapi aku mendengar jika Nenek Lucy bisa marah kalau diberi tongkat apalagi kursi roda. Saat menyebrang jalan, dia menolak dituntun meski jalannya sesantai siput dan membuat beberapa orang kesal. Pokoknya, dia mau selalu terlihat gagah.
Diam-diam aku masih menganggumi sosok Nenek Lucy. Sebelum berkunjung ke sini, aku memanfaatkan waktu mempelajari semua tentang keluarga ini termasuk pencapaian dari masing-masing mereka. Anggota keluarga Jeon mendapatkan kekayaan dari berbagai sektor.
Jika Jeon memfokuskan diri pada satu sektor ritel, yakni Jves & Koch, lain halnya dengan nenek Hwang Lucy. Beliau mempunyai berbagai sumber kekayaan (yang benar kata Lana) manusia takkan memikirkan uang ketika uang selalu ada dalam hidupnya.
Manusia yang memiliki kekayaan berlimpah akan memikirkan hal lain lebih berguna, misal meningkatkan kualitas diri atau memperluas jaringan sosial.
Kerja keras mereka sudah seperti kecanduan operasi plastik. Meskipun sudah menembus awan, mereka masih ingin lebih tinggi lagi. Bukan hanya alasan untuk bersaing semata, tapi sesuai teori Maslow, itulah tingkatan dari sebuah kebutuhan.
Dan di usianya sekarang, wajar bila nenek Lucy berhenti memikirkan uang. Meskipun tidak memikirkan uang, hartanya selalu bertambah setiap harinya. Kontribusinya menyebar dari berbagai sektor. Sebanyak 23 persen didapat dari infrastruktur Asia Tenggara dan transportasi Korea Selatan. Sektor jasa dan investasi menyumbang sedikitnnya tiga persen, serta penyumbang terbesar didapat dari bank swasta dan industri barang konsumsi.
"Sampai kapan bunga ini hidup?"
Aku terkejut dengan pertanyaan itu. "Ya?"
"Kadang-kadang aku tidak tega bila bunganya ditanam di rumah. Orang-orang selalu tak mengerti cara memperlakukan mahkluk hidup," katanya dengan suara ringkih. "Peganglah. Nanti kau merasakan dunia juga butuh disayang."
Aku menghampiri beliau dan menyentuh kelopaknya, kulit telunjukku seperti membelai sesuatu berbulu tipis. Aku menoleh padanya, lalu berbisik kagum. "Bunganya cantik."
Awalnya ia tidak tersenyum, tapi kemudian wajahnya sedikit ceria ketika menoleh padaku.
"Kau suka gaunnya?" Dagunya bergerak tak kentara menunjuk ke arah tubuhku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Océanor
FanfictionBagaimana jika kau menikah dengan pria yang sulit disentuh meski dia adalah milikmu? • Aku mengalaminya. Aku sedang menjalaninya. Aku menikahi pria yang tidak tersentuh. Sering sekali aku bertanya, mengapa kami tidak bisa melakukan kontak fisik sepe...