Dalam waktu lama aku masih diam memandangi telapak tanganku. Aku masih ingat rasa genggaman Jeon menguat dan bergetar.
Han Taejoon... Aku berkedip dengan pandangan kosong. Masih belum ada petunjuk pasti siapa Han Taejoon selain bagian keluarga ini. Jeon sama sekali tidak menyebut Han Taejoon sebelumnya.
Dilihat dari berbagai sisi, pria itu atraktif. Badan Taejoon muskular. Tak berbeda dengan Jeon. Mata yang kecil memancarkan kelembutan.
Sejauh ini, dari semua yang ada pada Taejoon aku paling suka matanya. Matanya seolah berkata tak pernah melakukan kejahatan apa pun. Lalu, bagaimana bisa dia berlutut di kaki nenek Lucy sambil meminta maaf.
Siang itu aku menunggu di latar rumah dengan rasa penasaran. Mewanti-wanti dan menerka apa yang Jeon, nenek Lucy, dan Taejoon lakukan dengan beberapa anggota kepala keluarga. Tak ketinggalan Mama ada di sana.
Sementara aku digiring duduk di kursi batu sambil menatap Yoshio yang sedang menyombongkan Hot Wheels barunya pada para sepupu.
Tetapi pikiranku tidak di sini. Melainkan di ruangan Jeon berada sekarang.
"Bibi," tahu-tahu Yoshio muncul di depanku.
Tidak, jangan lagi. Aku berdoa anak ini tak cari perkara.
"Ada apa, Yoshio?"
"Tadi kenapa wajah paman J seperti itu?"
"Seperti apa?"
"Lebih, um, apa ya?" Ia mengetuk dagunya bermonolog. Nadanya terdengar lebih bersahabat. "Seperti melihat hantu."
Sebelum aku menjawab, Cecilia menyela galak, "Diam Yoshio!"
Yoshio merengut pada gadis itu dan menoleh lagi padaku. "Bibi, pagi ini aku kena omel ibu karena bibi."
Aku menunjuk dadaku. "Karenaku? Kenapa bisa karenaku."
"Ibu bilang ucapanku tidak bagus. Maaf atas cara bicaraku kemarin."
Kemudian dia merungkuk dalam-dalam. Kalau seperti ini Yoshio terlihat seperti anak manis.
"Hanya mengatakan itu?" Menggoda. Kedua alisku terangkat. Daguku naik beberapa senti. "Aku sudah memberimu hadiah spesial tadi malam. Benar tidak ada hal lain yang mau kau katakan?"
Yoshio menggigit-gigit bibirnya, matanya mengitar-ngitar seperti sedang merencanakan sesuatu.
Lalu, kakinya mulai mengambil nacang-ancang menjauh.
"CeritadanlagubibiRunabagusbetul." Ia memuji setelah itu berlari pada sepupunya yang lain.
Aku menanggapinya dengan senyum. Berusaha terlihat baik-baik saja. Aku tidak ingin menunjukkan pada anak-anak seberapa kalutnya aku sekarang tentang Han Taejoon.
"Yoshio!"
Aku berpaling ke pintu, ibu Yoshio di sana.
"Ayo kita pulang."
"Lho sudah selesai bicaranya?" tanya Yoshio.
"Ya. Mama masih punya banyak kerjaan. Masukan mainanmu sendiri ke koper."
Yoshio mengangguk dan mendatangi tempatku lagi sambil memeluk seluruh koleksi mobil hadiahnya. "Bibi Runa, terima kasih. Aku punya banyak sekali buku dongeng."
Lalu, suara Yoshio merendah. Wajahnya mencondong padaku. "Tapi mama tidak punya waktu. Papa dan Mama mau aku baca sendiri. Omong-omong suara pelayan di rumah jelek sekali. Kapan-kapan aku mau main ke Korea bertemu bibi Runa. Di rumahmu ada piano?"
"Ada," sahutku bangga. "Suamiku membelikanku."
"Paman J memang luar biasa. Aku juga mau minta mobilan baru lagi padanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Océanor
FanficBagaimana jika kau menikah dengan pria yang sulit disentuh meski dia adalah milikmu? • Aku mengalaminya. Aku sedang menjalaninya. Aku menikahi pria yang tidak tersentuh. Sering sekali aku bertanya, mengapa kami tidak bisa melakukan kontak fisik sepe...