Dewasa.
Suku kata baru yang kutemui dari Jeon.
Semakin hari sikap dan sifat Jeon semakin terungkap. Yang pasti Jeon tidak banyak bicara, namun menyelesaikan persoalan dengan bertindak langsung. Jeon sangat piawai memperhatikan kesejahteraan para bawahan. Dia sosok idaman.
Coba sebutkan siapa yang sanggup menolak?
Siapa pun wanita pasti setuju dia adalah incaran. Mereka takkan menolak. Jeon jauh dari kata menyebalkan. Dia pendengar yang baik, lelaki bertanggung jawab, tidak banyak menuntut, dan bagus fisik.
Karena masih belum yakin, usai mandi, aku kembali ke depan cermin. Memandangi pantulan diriku.
Sepanjang hidup, aku tumbuh dengan kepercayaan diri. Confidence merupakan nama tengahku. Self-esteem adalah sindikatku. Mustahil rasanya, jika hanya dalam hitungan hari ada laki-laki yang berhasil mematahkan teoriku.
Sejak mengenal Jeon, aku merasa menjadi wanita paling bodoh. Bagaimanapun juga aku benci bersikap layaknya orang tolol. Setidaknya baru kali ini aku merendahkan diriku di depan cermin.
Aneh. Sungguh aneh.
Lihatlah. Payudaraku tidak terlalu besar, perutku sedikit berisi, lemak di tanganku seolah bertambah banyak. Memang belakangan aku sering mengkonsumsi kafeina dan camilan tengah malam sebagai teman menulis.
Kini badanku semakin jelas terlihat karena malam ini hanya menggunakan kulot putih panjang dengan kamisol krem berbahan tipis—yeah, walaupun udara cukup dingin. Lagi pula sayang kalau tidak dipakai. Baju ini merupakan satu dari puluhan hadiah ibu mertuaku. Tiap kali memakai barang pemberian beliau, aku selalu teringat senyum dan pesannya; "Tolong jaga puteraku. Dia amat berharga. Bahkan aku tidak bisa membiarkan orang lain menyentuhnya" bagiku pesan itu bukan perintah, melainkan kewajibanku sebagai istri.
Aku terus mematung sampai tiba-tiba bunyi ketukan halus di pintu kamar yang lupa ditutup membuatku tersentak. Aku berbalik dan menemukan sosok Jeon.
Dia juga sama terkejutnya ketika melihat penampilanku, kemudian Jeon mulai sibuk mencari pengalihan arah pandang.
"Maaf," ucapnya sepelan mungkin.
Sadar akan busana panasku, buru-buru kuraih jubah tidur di pinggir ranjang dan memakainya. Lagi pula kenapa kami harus canggung padahal sudah sama-sama dewasa.
Jeon masih mengalihkan tatapannya ke tempat lain sambil mengusap leher belakang. Sebelah tangannya tenggelam di saku celana tidur setinggi lutut. Betis kekarnya yang telanjang dengan ditumbuhi bulu-bulu tipis benar-benar menggoda, kalau boleh jujur.
"Sudah selesai," seruku masih panik ketika jubah terpasang apik tanpa celah.
Mata kelabunya kembali terarah padaku. Dia berdeham. "Hei."
"Oh, hai." Tanganku tergerak menyapa.
"Aku mengganggu?" tanyanya dengan telinga memerah sewarna buah kesemek matang.
Kata temanku saat SMA kalau telinga pria merah tiba-tiba ada dua opsi, dia malu atau terangsang.
Di tengah kepanikan yang belum reda, aku menggeleng. "Tidak. Ada apa? Kupikir kau sudah pergi tidur."
Jeon menunda sesaat, sebelum akhirnya dia menjawab samar. "Mendadak rindu."
Debaran jantungku meliar. Dalam sekejap aku kepanasan.
Sejurus kemudian mataku berkelana ke samping dan kembali menatapnya. "Kau... merindukanku?" tanyaku terdengar kurang yakin.
"Mungkin." Dia mengusap tengkuknya. Dan seharusnya itu hal wajar ketika suami merindukan istrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Océanor
FanfictionBagaimana jika kau menikah dengan pria yang sulit disentuh meski dia adalah milikmu? • Aku mengalaminya. Aku sedang menjalaninya. Aku menikahi pria yang tidak tersentuh. Sering sekali aku bertanya, mengapa kami tidak bisa melakukan kontak fisik sepe...