09| Jeon, Are You Jealous?

35.9K 6K 2.7K
                                    

"Runa, aku mau bicara."

Seharian aku kehilangan konsentrasi. Dompetku hilang. Aku menyadarinya sore ini. Benda itu tak ada di segala tempat—di kamarku, di setiap sudut rumah, kamar mandi, halaman depan, dan jalanan kompleks.

"Katakan saja."

"Bisa bicara sambil duduk?" pintanya.

Aku menoleh sekilas pada Jeon ketika sedang mengangkat bantalan sofa satu demi satu. "Aku bisa mendengarmu," ucapku, tapi aku sadar aku tidak bakal fokus mendengarkannya.

"Aku beli jet pribadi."

Aku merunduk mengecek kolong kursi. "Oh, wow. Keren." Dompetku tidak juga di sana. Kemudian berpaling pada deretan meja.

"Ada baiknya kita lihat pesawatnya besok."

Tidak mungkin dompetku di sudut ini. Aku mulai kesal. Pasalnya, dompet itu benar-benar barang penting bagiku. Selain ada alat pembayaran, adapula surat cinta dan kartu diskon. Dibanding itu semua dompetku adalah pemberian Danna lebih dari sepuluh tahun lalu. Belum juga ketemu, aku berjalan ke arah teras dengan panik.

Jeon membuntutiku. "Kau tidak keberatan?"

"Dompetku hilang. Bisa kita bicara nanti?" Aku tidak berniat mengabaikannya. Namun aku paling tidak suka diajak bicara saat sedang kehilangan barang.

"Baiklah." Dia menyerah.

Eh tunggu. Tadi Jeon bilang apa?

Aku berhenti melangkah dan berbalik padanya. Nyaris saja kepalaku menabrak batang hidungnya yang mancung. Jeon kelihatan kaget dan mundur setengah langkah.

"Barusan kau bilang apa?"

"Dompetmu hilang di mana?" Jeon mengembalikkan pertanyaan.

Aku mengibaskan kepala kukuh sambil menelan ludah. "Itu tidak penting sekarang," ucapku. "Katakan. Katakan yang kau bilang tadi." Kuharap aku salah dengar.

"Harus cari dompetmu dulu."

"Sebentar saja lupakan dompetku."

Jeon kelihatan ragu untuk sesaat. "Aku membeli jet."

Mataku melotot. "JET? MAKSUDMU PESAWAT TERBANG? SUNGGUHAN? LAGI?"

Jeon mengangguk-angguk. "Untuk kita." Wajahnya tetap damai seolah-olah ia baru beli gantungan tas dari toko mainan dan seolah teriakanku tidak memekakkan telinga.

Tanganku mendadak gemetaran dan seperti ada hawa panas keluar dari dalam tubuh. "Kau...." Aku mengerjap kehilangan kata-kata. Sebetulnya seberapa banyak harta orang ini. "Bagaimana bisa? Kapan? Untuk apa? Harganya mahal tidak? Kenapa dibeli?"

"Sebaiknya kita cari dompetmu dulu. Hilang di mana?"

"Hilang dimakan jetmu," kataku terlanjur kesal. "Bahas jetnya dulu!"

"Jetnya bisa menunggu. Dompetnya harus segera ketemu."

Pikiranku mulai terbagi. Aku menatap Jeon penuh selidik dalam beberapa detik. "Baiklah. Tetapi setelah ini kau harus berjanji jelaskan padaku yang sejujurnya."

Jeon mengulas senyum. "Janji."

Aku tidak menjawab dan hanya menghembuskan napas lewat hidung.

Selang beberapa detik aku duduk sesaat mengingat-ingat dan kembali ke dapur. Mungkin saja aku membuang dompetku atau kecil kemungkinan tidak sengaja menjatuhkan ke mesin pengering. Oh, ayolah. Tentu aku tidak seceroboh itu. Tapi bisa saja terselip di kantong belanjaan sepulang dari supermarket—Tidak! Dompet itu masih ada bersamaku pagi ini.

OcéanorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang