Aku mulai jenuh menghitung mundur tiga hari sebelum keberangkatan ke Singapura. Terhitung tiga hari pula Jeon meninggalkanku ke Jepang pasca demam.
Aku belum pernah merasa sesepi ini sejak menikah. Rasanya kosong. Sedikit berbeda dari saat aku dan Jeon belum tidur bersama. Sebab, kali ini aku dan Jeon benar-benar tidak saling melihat wajah satu sama lain dalam sehari.
Dua malam tidur di rumah sendirian rasanya hampa dan tak nyaman. Apalagi rumah dengan segala kemegahan ini justru memperparah rasa sepiku. Tetapi rasa sepi itu bukan masalah dibanding kerinduanku. Aku rindu suamiku, tapi aku memaklumi Jeon tidak punya banyak waktu sesering yang kami inginkan untuk bertukar informasi.
Lima belas menit adalah waktu terpanjang bagi kami mengobrol di telepon. Tentu saja semua itu belum cukup. Aku belum puas mendengar suaranya dan ingin dia terus bicara sampai aku ketiduran. Aku sengaja menolak setiap kali dia ingin mengubah ke panggilan video. Rindu Jeon malah memperburuk rindukku.
Jeon dan segala pekerjaannya membuatku cemburu. Waktu senggangnya adalah sesuatu paling indah dari apa pun yang pernah Jeon berikan padaku selama ini. Melebihi jetnya. Karena saat bekerja, Jeon tidak banyak bersantai. Ia hanya dapat kelonggaran di atas jam sepuluh malam, dan aku tahu itulah waktunya istirahat. Kadang-kadang kegigihannya bekerja patut kuacungi jempol, tapi kadang-kadang buat kesal.
Aku kembali ke kamar setelah membereskan sereal yang baru dikirim petugas perumahaan dan menyusunnya dalam kabinet. Hari ini jadwalku padat. Aku berharap seluruh kegiatanku bisa mengubur kebosanan sambil menunggu Jeon kembali sore ini.
Aku mengabaikan sebuah pesan masuk ketika mobilku memasuki jalan raya. Menuju siang hari jalanan tidak terlalu padat merayap.
Kulirik ponselku sekilas. Rupanya pesan dari Jaemin. Anak itu terus mengirim pesan sejak dua hari lalu, dan tidak satu pun pesannya kubuka. Hanya aku baca melalui pop-up notifikasi.
58 pesan darinya hanya berisi;
Noona.
Noona, hubungi aku kalau sudah baca pesanku.
Noona, sibuk?
Ayolah.
Noona, setidaknya angkat teleponku.
Penting!
Noona, boleh aku datang ke rumahmu?
Mood kakak ipar sedang bagus atau tidak? Kalau boleh, aku mau berkunjung. Nanti bawa ayam.
Bukan ayam! Maksudku makanan sehat.
Makanan apa yang disukai kakak ipar? Nama restoran favoritnya apa? Nanti aku yang pesan.
Noona.
Selebihnya kurasa dia cuma mengetik 'noona' berkali-kali. Aku sempat curiga dia hanya mencopy-paste dari pesan sebelumnya.
Tak tega mengabaikan terus-menerus, kubuka laci dashboard, mencari bluetooth speaker dan memasangnya ke telinga, lalu menekan panggilan tiga untuk Jaemin. Ternyata aku salah. Itulah adalah panggilan untuk Jeon. Aku buru-buru mematikkan koneksi sebelum ada kemungkinan aku menganggunya. Aku lupa sudah mengganti urutannya menjadi 1. Ibuku, 2. Ayahku, 3. Jeon, dan angka empat kuisi kontak Jaemin. Sebaiknya aku mulai harus membiasakan nomor adikku ada diurutan ke empat.
Pada dering pertama dia langsung mengangkatnya. Aku bisa membayangkan betapa sumringah wajahnya.
"Kali ini apa lagi?" tanyaku malas-malasan."
"Aku butuh bantuan Noona."
"Kau ini kan sudah semakin dewasa. Jangan merengek terus padaku. Nanti saat Noona sedang tidak bisa bantu, kau baru mengerti apa artinya berjuang sendiri," kataku apa adanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Océanor
FanfictionBagaimana jika kau menikah dengan pria yang sulit disentuh meski dia adalah milikmu? • Aku mengalaminya. Aku sedang menjalaninya. Aku menikahi pria yang tidak tersentuh. Sering sekali aku bertanya, mengapa kami tidak bisa melakukan kontak fisik sepe...