Chapter 3

52 22 1
                                    

Suasana sarapan begitu hening dengan Dion dan Yuki yang sesekali mencuri-curi pandang. Mereka sedikit tidak leluasa untuk bermesraan seperti biasa karena adanya Qeiza di sini. Mengingat juga kejadian semalam yang terjadi di hadapan Qeiza benar-benar membuat mereka malu.

"Aku mau ke kota hari ini, kalian bisa leluasa nantinya!" ujar Qeiza yang juga merasa suasana tegang ini. Ia menatap Yuki dan Dion itu bergantian, sepasang kekasih itu harus berbicara lebih terbuka mengenai pindahnya Yuki ke desa menurutnya.

"Aku juga harus ke kota hari ini!" ujar Yuki.

"Kita pergi sekalian aja!" ujar Dion lalu menyeruput teh hijau yang kekasihnya buatkan untuknya.

Qeiza menatap pasangan itu bergantian. Ia benar-benar tidak berminat menjadi CCTV di antara mereka. "Aku pergi dulu ya! Nanti kalau semua barangnya sudah pindah ke sini, aku bantu bersih-bersih!" ujarnya lalu pergi meninggalkan pasangan yang masih terkejut dengan tingkah kakunya.

"FIS dalam perjalanan ke sini!" ujar Dion memecahkan keheningan setelah kepergian Qeiza.

"FIS?" tanya Yuki tak mengerti.

"Face in Shadow, nama alat itu, tapi kalau kamu ada nama lain juga boleh." Dion menatap Yuki serius karena setelah hari ini, mungkin mereka akan jarang bertemu.

"Nama yang bagus, kapan kamu memikirkannya?" tanya Yuki antusias. Mereka saling bertatapan dengan degup jantung yang tak beraturan.

"Detak jantung kamu kedengaran sampai sini!" ujar Dion lalu merapikan piring-piring kotor. Berusaha kembali menormalkan detak jantungnya yang selalu melebihi batas kecepatan saat bersama dengan Yuki.

"Dion! Kok malah bercanda sih? Aku serius!" ujar Yuki yang sebenarnya malu dengan kalimat Dion yang tentu saja benar tadi. Wajahnya bahkan serasa memanas sekarang.

"Aku juga serius sayang! Normalkan dulu detak jantungnya!" ujar Dion lalu terkekeh pelan melihat ekspresi kesal Yuki karena godaannya.

Bukannya mereda, Yuki malah merasa detak jantungnya semakin melaju karena panggilan 'sayang' dari Dion terhadapnya. "Dahlah, mending kamu mandi! Biar aku yang cuci piringnya!" ujarnya sembari mendorong tubuh Dion keluar dari area dapur. Jika terus seperti ini, yang ada Dion malah semakin menggodanya karena rona merah di wajahnya.

"Wahhh, calon istri yang baik!" ujar Dion sembari mengusap lembut rambut Yuki.

Yuki memegang tangan Dion yang ada di atas kepalanya. Meletakkan tangan itu di samping tubuh Dion lalu tersenyum. "Sayang masuk kamar aja ya!" ujarnya lalu kembali ke Wastafel.

*******************

Bintang-bintang kembali menemani Fero malam ini. Selain Karyl, kesunyian malamlah yang setia menemaninya. Menenangkan pikirannya dari semua hal tentangnya yang hingga saat ini tidak bisa mencintai Karyl. Ia bingung, ada apa dengan hatinya. Ia bahkan tidak menemukan sedikit kekurangan pun terhadap Karyl kecuali gadis itu tidak bisa terkena air mata. Gadis itu bahkan terlalu baik jika disandingkan dengannya.

Ia mengacak rambutnya frustasi. Ini adalah tahun ketujuh mereka berpacaran tapi hatinya masih beku setiap kali bertatapan dengan wajah dan mata yang berkaca-kaca Karyl. Tubuh Karyl yang tertidur di sofa menunggu kepulangannya setiap malam tidak membuat hatinya bergerak sedikit pun. Ia bahkan tidak berniat menyelimuti tubuh Karyl seperti dalam drama yang ia tonton ketika bosan.

Fero melihat gedung apartementnya, beberapa apartement sudah gelap tapi apartementnya masih terang benderang. Ia melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul satu dini hari. "Karyl pasti sudah tidur!" gumamnya sembari bangkit meninggalkan taman.

Karyl yang tertidur di sofa kembali menyapa penglihatannya. Ia kembali tertegun sepersekian detik namun tak berniat membawa tubuh itu untuk tidur di kamar. Melakukan apa yang dilakukan pria saat melihat wanita yang tertidur di atas sofa seperti dalam drama hanya akan membuat Karyl salah paham dan menganggap jika hatinya mulai terketuk. Ia tidak ingin membuat Karyl menangis karena harapan itu.

Ia jelas sadar seharusnya sikapnya pada Karyl tidak sedingin initapi lagi-lagi, ia tidak ingin mengambil tindakan. Permohonan dari orang tua Karyl padanya juga membuatnya tidak tega mengusir Karyl dari kehidupannya. Air mata Karyl lima tahun lalu yang membuat gadis itu koma juga membuatnya hanya bisa terpaku dalam cinta Karyl terhadapnya. Ia tidak punya keberanian untuk menolak Karyl lagi dan hanya bisa diam.

Pupil mata Karyl yang bergerak membuat Fero terkejut. Ia bahkan hanya terpaku saat kekasih yang tak diharapkannya itu terbagun dan tersenyum padanya.

"Hai Fero!" sapa Karyl lalu merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. "Aku ketiduran lagi! Aku... ke kamar dulu!" lanjutnya.

Tak ada tanggapan dari Fero, ia hanya melihat langkah Karyl menjauh. Senyuman kebohongan dan mata yang berkaca-kaca itu cukup menjelaskan, betapa Karyl tak pernah mendapatkan kebahagiaan apa pun selama di sisinya.

****************

Senyuman Yuki dan Dion merekah saat berhasil menata ruangan tempat Yuki berinspirasi nantinya. Alat pembaca ilustrasi wajah yang diberi nama 'FIS' itu juga ada di ruangan itu. "Makasih Di!" ujar Yuki sembari berjinjit dan merangkul kekasihnya.

"Sama-sama sayang!" Dion menatap Yuki, sangat puas dengan ilmunya yang bisa menbuat Yuki tersenyum. "Kita ke kota sekarang?" tanyanya.

"Masih jam empat sore sayang, kita keliling desa dulu yuk!" ajak Yuki, menatap Dion dengan mata berbinar.

"Terus ke kotanya jam berapa? Takutnya keburu malam!"

"Kan aku nginap di sana!"

Mata Dion berbinar, menatap Yuki dengan serius. "Di apartement aku?" tanyanya.

"Ya enggaklah! Aku kan masih punya apartement sendiri Dion!" ujar Yuki, ia mencubit pipi Dion yang menggembung karena kesal. "Jangan berpikir aneh-aneh deh!" ujarnya.

"Terserah deh!" ujar Dion kesal. "Kita mau ke mana?" tanyanya.

"Keliling aja!" Yuki mengamit tangan Dion, membawa pria yang penuh dengan asap kota itu berkeliling di desa impiannya. "Di, lihat deh! Air kalinya jernih!" ujarnya sembari berjingkok di pinggir jalan.

"Ya ampun sayang! Di kota kan juga gitu!" Dion menuruti keinginan Yuki dan melihat ke kali. "Aku mau ajak kamu ke suatu tempat!" ujarnya sembari menarik tangan Yuki.

"Mau ke mana? Kan aku yang ngajak kamu jalan-jalan!" ujar Yuki tapi tetap mengikuti langkah Dion.

Langkah Dion berhenti saat mereka tiba di depan toko souvenir. "Yuk masuk!" ajaknya.

"Dari mana kamu tau tempat ini?" tanya Yuki penasaran. Ia yang lebih dulu sampai di desa ini, tapi malah Dion yang tau banyak tempat.

"Semalam aku gak bisa tidur, jadi ya... jalan-jalan deh!" ujar Dion. "Mau permen? Di dalam ada surat dari masa depan!" lanjutnya. Ia mengambil dua permen di dalam toples, satu miliknya dan satu lagi ia berikan kepada Yuki.

Yuki membuka bungkusan permen itu dan memakannya. Mengambil surat yang digulung kecil dan membukanya. Ia terdiam saat membaca kalimat dalam suratnya. Sepenggal kalimat yang seperti menyindirnya.

"Apa isi suratnya?" tanya Dion penasaran.

"Jangan berlari terlalu cepat! Dia yang di belakangmu akan tersandung saat mengejarmu!" Yuki membaca surat itu dengan pikiran buntu. Ia menatap Dion berharap pria itu bisa memberikan sedikit kelegaan.

Dion membuka gulungan kertasnya, raut wajahnya sama seperti Yuki saat membaca surat itu. "Dia akan lepas! Jangan membiarkannya terlalu bebas!"

Mereka saling bertatapan. Memikirkan jika kedua surat itu saling berkesinambungan. Mencari jawaban dari kedua surat.

Tawaan Dion memecahkan keheningan di antara mereka. Ia mengambil surat Yuki dan membuang kedua surat itu ke tong sampah. "Jangan dipikirkan! Kita lihat souvenir lain!" ujarnya lalu menggenggam tangan Yuki erat. Ada ketakutan di pikirannya yang menyatakan jika isi suratnya adalah tentang Yuki.

Yuki menurut saja walau masih memikirkan maksud dari surat itu. Ia berjalan sembari terus saja menatap Dion. Takut jika suatu hari, ia tidak lagi bisa melihat wajah yang selalu membuatnya tersenyum itu.

***********************











To be continued
Tekan ⭐








Face Shadow Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang