"Kamu harus pergi sekarang?" tanya Yuki saat melihat Dion mengemasi barang-barangnya ke dalam koper. Ia sedang sangat sibuk sekarang bahkan untuk sekedar meneriman panggilan masuk dan semua itu tentu saja memerlukan Dion sebagai penyemangatnya tapi pria itu malah akan meninggalkannya sekarang.
"Mesin yang aku ciptakan sebulan lalu bermasalah Yuki, bagaimana aku bisa lepas tangan!" ujar Dion sembari terburu-buru. Penerbangannya akan berlangsung satu jam lagi tapi kekasihnya itu malah menolak untuk mengerti keadaannya.
"Tapi kan kamu membuatnya bersama temanmu, mengapa kamu yang harus pergi?" tanya Yuki, ia masih setia berdiri di hadapan Dion agar kekasihnya itu kesulitan bergerak. Ia sama sekali tidak ingin Dion pergi dipuncak kesuksesannya ini.
"Yuki, kamu ini pelupa atau tuli sih?! Jelas-jels kamu dengar sendiri kan pembicaraan aku dengan dia! Istrinya sedang hamil tua, dia tidak mungkin bisa pergi!" ujar Dion, pria itu bahkan meninggikan suaranya karena kesal dengan sifat egois Yuki yang sangat kekanak-kanakan. "Sekarang kamu terkenal! Bukankah itu yang kamu inginkan?! Sekarang rasakan sendiri kesibukan ini!" ujarnya sembari memutup kopernya tanpa melihat Yuki.
Yuki terkejut dengan perkataan Dion. Bukan seperti ini yang ia inginkan. Ia ingin terkenal agar ia cocok disandingkan dengan kekasihnya itu yang banyak berjasa pada teknologi sekarang ini. "Kamu salah paham Di!" ujarnya, matanya memerah, berkaca-kaca. Perkataan Dion tadi benar-benar di luar pikirannya. Langkah kakinya perlahan mundur saat air matanya tak bisa lagi ia cegah untuk jatuh.
"Ya... aku lagi yang salah dan kamu selalu benar!" Tatapannya beralih ke Yuki. Ia terkejut melihat Yuki yang menangis sembari memeluk bajunya yang tadi Yuki rebut saat ia ingin mengambilnya. "Sayang, aku..."
"Kamu bisa pergi Dion!" Yuki membalikkan tubuhnya membelakangi Dion. Ia tidak ingin Dion melihatnya menangis. Ia bingung, mereka saling mencintai tapi mengapa selalu bertengkar? Apakah hubungan mereka sudah sejenuh ini?
"Yuki..."
"Pergilah Dion!" usir Yuki dengan suara yang bergetar. Ia merasa suhu ruangan menjadi bertambah dingin karena jarak mereka semakin jauh. Hubungan mereka yang sudah mencapai titik beku hingga ia merasa ini akan sangat sulit untuk dicairkan lagi.
"Aku pergi! Kamu jaga diri!" pamit Dion melangkah mundur perlahan. Tangisan Yuki membuatnya semakin berat meninggalkan Yuki. Menutup pintu kamarnya perlahan, meninggalkan Yuki yang masih menangis.
Yuki membalikkan tubuhnya, melihat pintu yang sudah tertutup. Sekarang, ia hanya bisa merangkai sepi sembari mendengar deringan handphone. Ia berjalan mendekati lemarin Dion, meletak kembali pakaian pria yang memilih pergi itu. Duduk di atas ranjang sembari menunggu panggilan masuk dari managernya, Qeiza yang baru saja ia lantik semalam.
"Qei!" sapanya setelah menjawab panggilan dari Qeiza.
"Seperti yang kamu katakan, aku sudah menerima tawaran agar novelmu difilm-kan," ujar Qeiza. "Apa aku perlu menghubungi Fero sekarang?" tanyanya.
"Kamu ke apartemenku saja sekarang, lalu kita ke apartemen Fero!"
"Oke."
************************
Media hari ini dipenuhi dengan berita tentang kehadiran Fero Yogaswara. Bara yang menjadi karakter fiksi utama dalam bayangan Yuki menjadi wujud yang nyata. Menjadikan Yuki semakin banyak penggemar dan Fero menjadi terkenal mendadak. Ia bahkan tidak bisa keluar dari apartemen karena banyaknya penggemar Yuki yang mengkin kini juga penggemarnya di depan pintu gedung apartemennya.
Pria tampan itu berulang kali mencoba menghubungi Yuki namun penulis itu tidak menjawab panggilannya. Hanya ada suara operator yang mengatakan jika nomor handphone Yuki kini sangatlah sibuk. Jika terus begini, ia mungkin harus menyewa manager atau bodyguard agar urusan pribadinya bisa terus berjalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Face Shadow
RomanceYuki, seorang penulis terkenal yang enggan mengizinkan bukunya untuk difilmkan. Ia sangat mencintai paduan kata dari kalimat yang dirangkainnya hingga tak ingin semua itu buyar dengan tokoh nyata. Kecintaannya pada karyanya itu semakin membuat pengg...