Langkah Yuki tak berhenti berlalu lalang di depan Qeiza. Bola matanya terus saja memandang jam tangannya. Kecemasan memukulnya karena Fero yang tak kunjung datang.
"Yuki, masuk aja Yuk! Kita tunggu Fero di dalam! Daffa sudah menghubungiku berkali-kali!" ajak Qeiza yang sudah tidak tahan berdiri di luar gedung. Ia juga lelah terus menjawab pesan Daffa yang terus meminta mereka untuk cepat.
"Percuma kita masuk tanpa Fero, Qeiza!!" tolak Yuki, ia memandangi jalan raya, berharap mobil Fero berhenti di depannya.
"Fero akan menyusul Yuki, kamu harus yakin padanya!" Qeiza menggenggam tangan Yuki, menarik sahabatnya itu untuk masuk ke dalam gedung perfilman.
Yuki menuruti perkataan Qeiza, ia harus yakin jika Fero tidak akan mengecewakannya. Apapun yang terjadi, tetap ia dan Fero yang akan menjadi pemeran utama di dalam ceritanya.
Lantai dua belas membuat detak jantung Yuki menjadi tak karuan. Ia sedikit takut jika ternyata dia tidak mempunyai bakat dalam seni peran. Tangannya mendadak menjadi dingin tapi berkeringat.
Ia masih mencoba menghubungi Fero yang nomornya masih belum diaktifkan. Entah apa yang terjadi hingga terlambat di saat penting seperti ini. Perasaan khawatirnya bercampur aduk sekarang.
"Jangan khawatir Yuki! Kamu bisa!" Qeiza menggenggam tangan Yuki semakin erat untuk menyemangati sebelum mereka masuk ke dalam ruang di mana kemampuan berakting sahabat akan diuji.
"Kenapa kalian terlambat?" tanya Daffa tanpa basa-basi saat dua gadis itu masih berdiri di ambang pintu. Ia melihat ke belakang, mencari seorang pria yang akan menjadi pemeran utama. "Di mana Fero?" tanya sembari menatap Yuki tajam, ia dan para krua lainnya sudah satu jam menunggu kedatangan mereka.
"Dia... aku juga tidak tau di mana dia!" Yuki memalingkan wajahnya, tak berani menatap mata Daffa dan mereka yang sudah menunggu sejak lama. Ia sendiri bahkan juga juga kesal dengan Fero yang juga tak menunjungkan ujung rambutnya hingga saat ini. "Aku akan menghunginya lagi!" Ia melarikan tatapannya pada handphonenya, menekan nama Fero untuk menghubungi pria itu.
"Tidak perlu! Nomornya tidak aktif!" Daffa membalikkan tubuhnya membelakangi Yuki. "Kamu saja dulu yang memulai, jika Fero menginginkan peran ini, ia pasti akan menyusul!" ujarnya.
"Aku? Sendiri?" Yuki menaikkan satu oktaf suaranya saking terkejutnya. Matanya langsung beralih pada para kru yang menatapnya serius, seakan mengisyaratkan padanya untuk segera memulai dan mengakhiri pekerjaan mereka hari ini.
"Iya, silahkan dimulai!" ujar Daffa penuh penekanan, ia bahkan tidak peduli jika ia adalah salah satu penggemar buku Yuki karena sekarang, Yuki lah yang bekerja di bawah naungannya.
"Baiklah!" Yuki memejamkan matanya sembari menarik napas dalam berusaha menormalkan detak jantungnya. Menghilangkan kegugupannya dan menganggap ini sebagai pertemuan dengan para penggemarnya semata.
"Bara! Aku lega akhirnya bisa kembali bertemu denganmu!" Yuki memeluk erat tubuh Daffa dari belakang. Menyandarkan kepalanya pada punggung pria itu.
Daffa mengernyit, matanya menyipit dengan wajah yang memanas. Ia menatap para kru yang juga terlihat terkejut dengan apa yang terjadi di hadapan mereka. Ia tidak menyangka jika Yuki mengambil salah satu bagian pada ceritanya bukan pada skrip yang ia berikan untuknya.
"Bara! Aku mencintaimu! Aku sangat mencintaimu!" lanjut Yuki, ia melepaskan pelukannya. Kedua tangannya beralih mengenggam tangan Daffa, berharap pria itu menyambut aktingnya. "Maafkan aku yang dulunya terlalu egois menikmati cintamu tanpa memperlihatkan cintaku padamu!" Ia memejamkan matanya, mengutuk dirinya dengan kalimat itu. Rasanya sangat berbeda ketika hanya ditulis dan berbicara seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Face Shadow
RomanceYuki, seorang penulis terkenal yang enggan mengizinkan bukunya untuk difilmkan. Ia sangat mencintai paduan kata dari kalimat yang dirangkainnya hingga tak ingin semua itu buyar dengan tokoh nyata. Kecintaannya pada karyanya itu semakin membuat pengg...