Senyuman tak bisa lepas dari bibi Yuki saat ini. Novel ketiganya kembali menjadi Best Seller dan tentunya penggemarnya bertambah banyak. Ia tak menyangka jika kehidupan berpihak sebaik ini padanya.
Ia baru saja keluar dari sebuah perusahaan perfilman yang menawarkan untuk menfilmkan novelnya namun lagi-lagi ia menolak. Bukan tanpa alasan, ia hanya merasa jika membaca itu terlihat lebih menghayati. Jika novelnya difilmkan, maka rugi sudah ia susah payah merangkai kata demi kata. Mencari kedamaian bersama alam yang sekarang sudah sulit ditemui.
Pacarnya keluar dari mobil sembari membawa serangkai bunga. "Hai sayang!" sapa pria itu sembari memberikan bunga itu padanya. Ia memberikan senyuman pada penggemar pacarnya sebelum masuk ke dalam mobil.
"Gimana sayang? Kamu terima tawaran filmnya?" tanya pacarnya sembari menyalakan mobil.
"Dion... kamu tau kan aku lebih suka membaca dari pada nonton?!" ujar Yuki malas. Tidak dengan Dion dan para penggemarnya yang terus saja meminta novelnya untuk dijadikan film.
"Iya sayangkuuu... aku tau tapi kan kamu akan lebih..."
"Dion... ini sudah menjadi prinsipku. Jika novelku difilmkan terus untuk apa aku berlibur untuk mencari motivasi rangkaian kata?" tanya Yuki sembari menulis di buku catatannya. Merangkai kata dengan sesekali melihat pemandangan kota yang telah jauh berbeda dengan kehidupannya dulu.
"Oiya sayang, aku sudah berhasil menciptakan alat yang kamu inginkan!" ujar Dion sembari melihat apa yang pacarnya tulis.
"Serius alatnya sudah siap?" tanya Yuki antusias. Ia sangat senang dengan kejutan pacarnya kali ini. "Udah kamu coba kan? Gak bakal gagal kayak kemarin kan?" tanyanya serius. Semua bayangan wajah yang menjadi pemeran di novelnya berputar-putar di kepalanya.
"Iya sayang! Mana mungkin aku bohong!" ujar Dion sembari mencubit hidung Yuki. "Kapan ingin mencobanya?" Ia benar-benar senang bisa melihat senyum Yuki yang tercipta karenanya.
"Besok aja deh, hari ini aku sangat lelah!" ujar Yuki, hari ini ia benar-benar lelah. Mulai dari bertemu teman-teman penulisnya. Menyapa penggemar saat ia masuk dan keluar dari perusahaan perfilman.
"Hemmm, aku jadi penasaran dengan tokoh utama pria di novel kamu! Pasti lebih tampan aku!" ujar Dion sembari terus membaca apa yang Yuki tulis. "Mau makan apa malam ini?" tanyanya.
"Makan apa ya? Sayang mau makan apa?" tanya Yuki pada Dion, menfokuskan diri pada Dion. Ia tau jika pacarnya itu terus bertanya, itu berarti ia terlalu fokus pada novelnya hingga mengabaikan pria itu.
"Juga bingung mau makan apa," jawab Dion.
Mobil Dion sampai di ruang parkir bawah tanah dari apartement mereka. Robot yang menunggu mereka di dekat lift dengan cepat mendekati mobil dan membawakan barang-barang itu. Ikut masuk ke dalam lift bersama Yuki dan Dion.
Pintu apartement terbuka saat wajah Dion terbaca oleh alat pendeteksi. Mereka masuk bersamaan dengan robot tadi yang lalu meletakkan barang mereka lalu pergi menuju dapur. "Mau masak apa Dik?" tanya Dion pada robotnya yang ia beri nama Diki.
"Belum tau Dion." Robot itu masih melihat-lihat isi dalam kulkas. "Bahan-bahan makanan sudah banyak yang habis Dion," ujarnya sembari mengeluarkan satu persatu isi kulkas.
"Masak apa yang ada aja Dik, yang penting rendah kalori!" ujar Yuki sembari tetap menulis. Ia menargetkan novel terbarunya selesai bulan ini bagaimanapun caranya karena di kepalanya juga sudah sangat banyak alur baru yang harus dikeluarkan. "Sekalian buatin jus kayak biasanya ya Dik!" pintanya.
"Iya Yuki sayang!" ujar Diki sembari mengedipkan sebelah matanya.
"Hei! Dia pacarku!" ujar Dion kesal. Ia mengambil beberapa bahan makanan dan membantu Diki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Face Shadow
Любовные романыYuki, seorang penulis terkenal yang enggan mengizinkan bukunya untuk difilmkan. Ia sangat mencintai paduan kata dari kalimat yang dirangkainnya hingga tak ingin semua itu buyar dengan tokoh nyata. Kecintaannya pada karyanya itu semakin membuat pengg...