Chapter 12

33 18 1
                                    

Degup jantung Yuki bertegup kencang melihat tatapan tak bersahabat dari Dion. Ia tau jika Dion marah dengan keputusan sepihaknya, tapi bukankah Dion yang menyuruhnya untuk menikmati kesibukannya sendiri. Jika ia menghubungi Dion pun, ia yakin kekasihnya itu tidak akan akan setuju. Ia juga tidak bisa melepaskan Fero begitu saja, pria itu adalah wujud nyata Bara.

Mata Dion yang agak sipit terus menatap Yuki. Mengisyatratkan untuk Yuki berbicara lebih dulu, tapi sudah sepuluh menit berlalu, Yuki tetap diam dengan membalas menatapnya. "Mau kamu apa sih?" tanyanya marah, tangannya terkepal mengingat Fero datang ke apartemen Yuki tanpa seizinnya.

Yuki mendesah pelan, apa yang harus ia jelaskan? Dion sudah tau mengenai keinginannya mengambil peran bersama Fero. "Kamu jelas tau apa yang aku inginkan Fero! Jangan memperpanjang masalah dengan terus ingin berdebat!" pintanya, ia menyatukan kedua tangannya, memohon pada Dion. Jantungnya berdegup semakin kencang saat mengatakan itu pada Dion tapi di saat sepeti ini nyalinya tidak boleh ciut.

Mata Dion semakin menyipit, dahinya berkerut mendengar perkataan Yuki. "Berdebat katamu?!" tanyanya tak percaya. "Yuki, bisakah kamu mengerti jika aku sedang cemburu?!" Ia menjambak rambutnya sendiri frustasi. Kepulangannya ke Indonesia dengan terburu-buru menjadi sia-sia. Kekasihnya itu bahkan tidak bisa menghargai perasaanya sedikit pun.

"Aku lelah Dion!" ujar Yuki. Ia tidak bisa lagi berbicara lagi karena mata Dion yang memancarkan amarah sebenarnya membuatnya takut. Ini masih pagi, tapi kakinya serasa sangat berat untuk digerakkan. Ia melangkahkan kakinya perlahan.

"Kamu melepaskan film itu untuk orang lain atau kita putus!" ancam Dion sembari menahan lengan Yuki. Matanya terpejam, menahan perih. Keegoisan Yuki selama ini sudah menjawab ancamannya itu. Ia tau Yuki akan memilih apa. Merutuki dirinya yang begitu marah hingga tak memikirkan perasaannya sendiri. Tujuan hidupnya adalah Yuki, bagaimana jika tujuan itu menjauh darinya.

Yuki menghembuskan napasanya sembari menutup mata. Tangannya yang bebas perlahan melepaskan tangan Dion yang memegang lengannya. "Kamu mungkin Lelah, aku juga lelah! Hubungan kita telah mencapai titik jenuh! Kamu ingin mengakhiri hubungan ini, maka aku akan menerimanya!" ujarnya. Dion bisa egois, begitu juga dengannya. Sekali lagi, ia tidak ingin impiannya untuk sukses kalah dengan cinta. Ia tidak ingin menjadi gadis lemah, ini bukan lagi era kuno yang selalu mewajibkan wanita untuk mengalah dan tunduk pada pria.

"Aku mencintaimu Dion! Sangat mencintaimu!" Air mata Yuki terjatuh. "Aku berharap, hubungan kita bisa kembali saat keegoisan kita telah mereda!" ujarnya, suaranya mulai bergetar. Tubuhnya serasa dingin, mengutuk dirinya yang kini serasa benar-benar lemah.

"Hanya kamu yang egois Yuki!" ujar Dion, matanya masih terpejam tak ingin melihat Yuki yang mungkin saja semakin menjauh darinya.

"Apa? Hanya aku yang egois?" tanya Yuki tidak terima. Tubuhnya berbalik menatap Dion yang masih memejamkan matanya. "Seburuk itukah aku di mata kamu?" tanyanya, air matanya semakin berlomba-lomba untuk terjatuh.

Dion tetap diam dengan mata yang masih terpejam. Hatinya terluka, ingin mendekap Yuki dalam pelukannya tapi egonya jauh lebih kuat dibandingkan rasa kehilangannya itu. Ia ingin egois agar cintanya tidak selalu diabaikan oleh Yuki.

"Kamu bolak-balik keluar negri aku sama sekali belum pernah melarang kamu untuk pergi Dion sebelum hari di mana Fero datang! Aku mau kamu ada saat itu agar kamu gak salah paham tentang impian aku!" Yuki mulai sesegukan, hatinya perih melihat Dion yang masih menutup mata. Kakinya yang bergetar membuatnya memilih untuk duduk di lantai yang sekarang menjadi lebih dingin.

"Kamu keluar ngeri untuk impianmu dan aku berusaha sepenuhnya percaya jika kamu akan setia! Tapi sepertinya, dalam hatimu tidak ada sedikit pun kepercayaan untuk hubungan kita!" Yuki menggelamkan wajahnya di antara lututnya. Merutuki dirinya yang mempunyai perjalanan cinta serumit ini.

"Bisakah kamu pergi sekarang?" tanya Dion yang tak bisa lagi mendengar tangisan Yuki. Jika terus seperti ini, ia hanya bisa mendekap tubuh Yuki semakin erat. Hatinya membenarkan semua perkataan Yuki. Mantan kekasihnya itu tidak pernah menanyakan tentang kengiatannya di sana selain pekerjaan. Ia jadi bingung sekarang, sebenarnya siapa yang lebih egois di antara dirinya dan Yuki.

Dengan sisa tenaga, Yuki berusaha untuk berdiri. Ia menghapus air matanya dan melihat Dion yang masih menutup mata. Pria itu benar-benar tak berniat untuk menatapnya sama sekali. Kebencian sepertinya memenuhi seluruh angota tubuh Dion.
"Selamat tinggal, semoga kedepannya tidak ada lagi seseorang sepertiku yang begitu egois padamu!" ujar Yuki sebelum melangkahkan kakinya keluar. Ia menutup pintu perlahan dengan pandangan yang masih mengarah pada Dion yang masih setia memejamkan mata. "Semoga kita tidak bertemu lagi!" teriaknya pada perekam suara di depan pintu aparteman Dion.

Tubuhnya seketika terjatuh di depan pintu apartemen Dion. Menyandarkan tubuhnya dengan tangisan yang mulai sesegukan mengingat awal pertemuannya dengan Dion. Pria itu yang selalu mendukung semua impiannya. Menemaninya dari titik nol hingga bisa sesukses ini. Namun lihatlah sekarang, jangankan mendukungnya, untuk melihatnya bahkan sekarang Dion tidak ingin lagi.
Matanya mulai kabur, kepalanya mendadak menjadi pusing saat mengingat berkas-berkas memori di dalam kepalanya. "Ibu!" gumamnya lalu pingsan di depan pintu apartemen Dion.
"Yuki!"

*********************

Sudah lebih dari sejam Yuki tak sadarkan diri, pikiran Fero mulai berkecamuk. Tubuh Yuki yang memanas dengan wajahnya yang pucat membuatnya sangat khawatir. Tangannya perlahan mengelus wajah Yuki, manatap wajah yang berkeringat itu.

"Kamu belum mengenal Yuki sepenuhnya!" ujar Qeiza yang berdiri di pintu kamar Yuki. "Yuki, gadis korban kecelakaan yang lupa ingatan! Aku yang saat itu menjenguk temanku di rumah sakit pun tak sengaja bertemu dengannya, berniat membantunya dengan menemukan keluarganya tapi hingga saat ini, bahkan Dion yang ikut membantu pun tetap tidak ada hasil!" Qeiza kini berdiri di samping Fero, menatap kasihan sahabatnya itu.

Fero tidak dapat menyembunyikan wajah terkejutnya. Ia tidak menduga jika gadis pintar yang kini terbaring itu bahkan tidak mengingat masa lalunya. "Kapan dia bertemu dengan Dion?" tanyanya penasaran. Kisah hidup Yuki lebih menyedihkan darinya.

"Sebulan setelah aku bertemu dengan Yuki!" ujar Qeiza. "Jadi, kamu sama sekali tidak cocok untuk bersaing dengan Dion! Jangan pernah berpikir untuk menghancurkan hubungan mereka!" lanjutnya dengan intonasi yang dinaikkan. "Aku memang belum pernah jatuh cinta, tapi aku tau hubungan mereka begitu erat! Pertengkaran seperti ini tidak pantas menghapus tiga tahun yang terlah berlalu!" Ia memperingati Fero, pria yang bahkan tidak bisa membalas perasaan seorang wanita selama bertahun-tahun itu mana bisa mengalah dengan keegoisan Yuki.

"Aku mungkin bisa tidak mencintai Karyl tapi aku mencintai Yuki!" ujar Fero jujur. Matanya masih tetap melihat wajah Yuki.

"Kamu tau kenapa dia seperti ini?" tanya Qeiza. "Dia sangat mencintai Dion, dia demam dan pingsan karena mengingat masa lalunya dengan Dion! Memori Yuki tidak bisa diungkit begitu saja! Itu akan membuatnya berusaha mengingat kejadian sebelum tiga tahun lalu!" jelasnya.

"Lalu kenapa dia tida seperti ini saat berusaha mengingatku?" tanya Fero.

Qeiza menghela napasnya pelan. Haruskah ia mengatakan secara langsung pada Fero jika ia tidak suka saat Fero terus berusaha mendekati sahabatnya itu? "Yuki sedang bersedih saat mengingat masa lalunya dengan Dion, kamu sebagai dokter pasti tau jika perasaan seseorang memengaruhi imun tubuhnya!" jawabnya. Ia masih berusaha memperingati Fero secara lembut.

"Dion yang memberikan nama Yuki itu padanya! Memberikan identitas baru pada Yuki." Qeiza masih berusaha membuat Fero sadar, jika dibandingkan dengan Dion, Fero hanyalah orang baru. "Lupakan Yuki! Belajarlah mencintai Karyl!" pintanya.

Fero tertawa, menertawakan nasibnya yang bahkan tidak jauh berbeda saat ia berada di New York. "Sampai kapan seorang pria mengalah hanya untuk menahan air mata wanita? Kalian semua memintaku untuk belajar mencintai Karyl tapi tidak ada yang memikirkan apa yang aku perjuangkan untuk melakukan itu?!" Ia berdiri, meninggalkan Qeiza yang terpaku mendengar perkataannya. Ia sengaja kembali ke Indonesia untuk tenang, tapi mengapa sekarang semua menjadi serumit ini?

******************************



To be continued
Tekan ⭐





Face Shadow Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang