Sepi.
Hanya ada bayang-bayang Jaemin yang menghantui pikirannya sejak tadi.
Minhee duduk di balkon kamar Jaemin bersama angin malam, di tangannya, ada buku diary milik Jaemin yang dia temukan tergeletak di meja belajar kakaknya.
Di malam yang dingin ini, Minhee membiarkan air matanya tumpah ruah. Mengijinkan sesak di dadanya untuk menemukan jalan keluar. Tidak pernah ia bayangkan jika Jaemin pergi begitu cepat.
Rasanya, dia ingin memeluk Jaemin lebih lama, dia ingin menjadi sandaran bagi Jaemin lebih lama, tapi dia sadar, bukankah itu hanya akan menambah beban kakaknya?.
Saat ia kembali menangis, pintu kamar Jaemin terbuka. Heejin, muncul dari balik pintu.
"Minhee..."
Heejin sudah tidak bisa berkata apa-apa saat melihat rapuhnya Minhee, gadis itu kemudian memilih mendekap adiknya.lalu menangis bersama.
Aroma kamar yang menguar dengan bau tubuh Jaemin membuat sesak di dadanya kembali datang lagi.
Tidak ada alasan untuk tidak menangis, semuanya beesedih, semuanya berduka, Jaemin sudah pergi.
"Kemarin abang ngucapin ulang tahun ke aku, padahal masih satu bulan lagi."
"Ternyata abang ngucapin lebih awal karena mau pergi ninggalin aku." Lirihnya, buku diary milik Jaemin yang dia baca barusan adalah bukti bagaimana lelahnya batin dan fisik kakaknya selama ini, bagaimana rasa sakit yang dialami Jaemin selama ini, itu semua ada disana.
Suara tangisan Ayah di teras, lantas suara isakan bunda dikamar makin membuatnya merasa sakit.
Dan sekarang? Tidak ada lagi yang mengusilinya, tidak ada lagi yang merusuh malam-malam, dan tidak ada lagi yang menemaninya menonton film horror bersama.
Harap-harap akan terbiasa, Minhee tidak biaa hidup tanpa Jaemin, kakaknya adalah separuh hidupnya.
Minhee rasa hidupnya tidak adil, namun, Mungkin Tuhan sangat menyayangi Jaemin, Tuhan tak ingin membiarkan Jaemin tersiksa lebih lama oleh kejamnya dunia.
Setelah terdiam begitu lama, Minhee akhrnya menatap kakak sepupunya.
Pada akhirnya, dia hanya bisa memeluk Heejin sekarang ini.
Mereka hanya bisa saling menguatkan.
***
Dilain tempat, Devan mendengar tangisan Minhee yang semakin memekakkan telinganya.
Laki-laki paruh baya itu, dia melihat dengan kedua matanya sendiri, didepan sana, Ibunya, tengah berdiri di halaman rumahnya sembari memegang korek api.
Tunggu.
Sialan.
Pranggg!!!
Suara lemparan kursi dari lantai atas membuat Devan kaget, Minhee baru saja melempar kursi pada Joanne.
Putra bungsunya itu berlari kearah ibunya dengan mata memerah, dengan tangannya yang terkepal.
"NENEK BELUM PUAS? ABANG UDAH PERGI, Nenek masih mau bakar barang-barang abang?" Tatapan nyalang miliknya mampu menghunus Joanne dengan cepat, banyak foto-foto milik Jaemin juga kalung yang dia berikan saat Jaemin berulang tahun.
Wanita ini benar-benar sudah gila.
"Cukup nek, cukup. Jangan kayak gini."Lirihnya, lututnya terjatuh saat ia mengambil kalung dengan gandul bintang tersebut.
Kalau lo kangen, lihat bintang, gue ada disitu.
Perkataan Jaemin masih terngiang jelas dipikirannya, dadanya kembali sesak saat mengingat kenangan-kenangannya bersama jaemin.
Anak itu mendongak, hanya ada bulan diatas sana. Tidak ada bintang.
"Abang kemana? Nggak ada bintang disana." Katanya, tentu hanya ia katakan dalam hati.
Sekarang hanya ada sepi, tidak ada lagi Jaemin, tidak ada lagi figur kakak yang melindunginya.
"Minhee sayang bang Jaemin, bahagia selalu disana."
Bahagia selalu, abangku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Best Brother || JAEMIN MINHEE [END]
Fiksi Remaja"Kalau lo kangen sama gue, lihat bintang, gue ada disitu"-Jaemin Highest Rank #1 in Jaemin Fanfiction #1 in kmh #1 in Minhee Cravity #1 in NCT Jaemin #3 in Kesedihan #5 in Minhee #7 in Na Jaemin #7 in Jaemin NCT