PROLOG
“entah dirimu yang pergi duluan, atau aku yang memilih untuk melepaskan”
⚛ - ⚛ - ⚛
Sejak duapuluh menit perjalanan pulang menuju Rumah, Jihoon tak henti-hentinya terus mengomel pada Yeza yang duduk anteng di sebelahnya sembari menatap jalanan luar. Entah mendengarkan atau tidak, gadis itu tetap diam tanpa berniat menyahut.Semua bermula dari Yeza yang nekat datang ke tempat tongkrongan Jihoon dan teman-temannya. Ia tidak mengira kalau pemuda itu akan semarah ini sampai terus membentak dan mengomel berkali-kali. Terlebih lagi, kecepatan mobil yang dikemudikan rasanya semakin meninggi.
"Lo nggak mikir? kalo ada apa-apa di jalan, terus lo luka atau apalah. Siapa yang tanggung jawab, Za?!"
Kalimat itu sudah terhitung 4 kali diucapkan Jihoon. Dan sekarang kembali diulang lagi.
"Keras kepala banget lo, Za. Ini itu udah malem, kalo sampe pihak keluarga kita tau, gue yang dapet imbasnya."
Yeza menghela nafas. Ia sadar apa yang dilakukannya mungkin salah dan terlampau nekat. Namun, Cowok itu sama sekali tidak berpikir kalau semua dilakukan Yeza karena rasa khawatir.
"Gue nggak papa kok. Udahlah nggak perlu marah-marah terus." balas Yeza pelan.
"Gue pulang malem cuma karena pengen punya banyak waktu bareng temen, lo masa nggak bisa ngasih space buat gue??" ujar Jihoon masih dengan aura kesal.
Yeza menoleh ke arah Jihoon. Menautkan alis dengan raut gusar. "Gue udah nyoba buat ngertiin lo, Jihoon. Tapi ini udah kelewat batas tau nggak, lo pikir gue nggak khawatir apa, jam dua pagi kaya gini lo belum ada di rumah."
"Gue pasti pulang, Za. Gue bukan bocah yang bakal lupa arah jalan pulang."
"Tapi kenapa telfon gue sengaja lo matiin berkali-kali!"
Jihoon mencengkam kuat setir kemudi di tangannya. Benar-benar muak dengan Yeza yang selalu membantah. "Lo yang kelewat batas, Za."
"Apa salahnya sih, khawatir sama suami gue sendiri?"
"Yeza! Gue harap lo tahu batasan. Kita nikah bukan atas dasar hubungan cinta. Harusnya lo selalu inget itu,"
Mendengar penuturan itu, Yeza hanya diam. Sebenarnya ia selalu mencoba yang terbaik agar kalimat itu tidak pernah keluar dari ucapan Jihoon. Tapi semuanya sia-sia.
"Gue menghargai keputusan mendiang Ayah lo buat minta kita nikah. Dan keluarga gue juga nerima lo apa adanya sebagai pendamping gue. Apalagi yang perlu gue korbanin, Za?"
Sebisa mungkin, Yeza menetralisir rasa kesal di hatinya. Ia sungguh tidak ingin menangis di hadapan Jihoon. Gengsinya terlampau tinggi untuk menunjukkan bahwa dirinya begitu lemah dan cengeng.
"Gue kuliah. Udah pasti banyak tugas, kegiatan diluar dan kumpul bareng temen gue lainnya. Lo sendiri juga punya kesibukan sendiri kan ngurusin usaha toko bunga lo? Jadi, buat apa lo buang-buang waktu khawatirin gue?"
"Gue cuma takut lo kenapa-kenapa." pekik Yeza tertahan.
"Anggep gue bukan suami lo, Za. Kita tinggal serumah bukan berarti bisa saling perduli satu sama lain!" gertak Jihoon, kakinya semakin menekan pedal gas.
"Ji, pelanin kecepatan mobilnya." cicit Yeza.
"Nggak. Semakin lama kita nyampe rumah, bakalan makin banyak omongan kasar yang harus lo denger." sunggutnya penuh penekanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marriage is an Nothing √
FanfictionBagi Jihoon, pernikahan yang sekarang ia jalani bukanlah apa-apa. Jihoon never appreciated any of the bonds between them. #1 parkjihoon (21052021) ©𝟐𝟎𝟐𝟏