Mail ingat, Trinda pernah bilang kalau circle pertemanannya agak extra. Tapi agaknya, extra aja nggak cukup untuk mendeskripsikan, ketika Trinda menyebutkan lokasi makan malam yang akan mereka hadiri, setelah sebelumnya mengulurkan pakaian serba putih untuk ia kenakan—kemeja lengan pendek dan celana bahan, sementara Trinda menggunakan rok terusan pendek tanpa lengan.
"Di hotel banget, nih?" tanyanya antara sangsi dan kesal.
Sebenarnya, Mail nggak mau salty sama kekayaan orang. Tapi gatel nggak sih melihat bocah-bocah ingusan pada hedon begini?
"Kenapa? Nggak boleh?" Trinda mengembalikan pertanyaannya. "Dinner terakhir sebelum jadi menantu orang, loh."
"Nggak ada yang bilang nggak boleh."
"Tapi nadamu ngeselin. Kayak lagi nyinyir. Lagian, bayarin temen makan di Park Hyatt doang nggak bakal ngabisin satu kali gajinya Michelle."
"Ya, ya, ya." Mail tahu gaji Associate di law firm berafiliasi internasional tuh gede. Apalagi kalau si Associate ini punya nama belakang yang sama dengan nama law firm itu sendiri, alias anak bos!
"Lama-lama kugigit juga tuh mulut, Mas. Tipis amat!"
"Nyoh." Tentu saja Mail malah memajukan bibirnya biar digigit. Mail kok ditantang.
~
Sebagai tukang review hotel, Trinda manggut-manggut pada pelayanan yang mereka terima malam ini. Padahal cuma ke restonya, bukan mau menginap di hotelnya, tapi dari drop off nggak dianggurin, diantar sampai ruangan yang dituju.
"Kenapa kita belum pernah ke sini, ya?" Trinda menggumam dalam perjalanan menuju lift ke lantai 22.
Mail menyahut kalem di sebelahnya. "Mau check in?"
"Enggak ah, nanggung, udah jam segini."
"Ini masih hari Jumat, Nduk. Puas-puasin sampe Senin pagi, lah."
"Duh, iya deh yang banyak duit."
"Lah?" Mail memutar bola mata. Padahal, kalau lagi nggak ada agenda, dari dulu memang kerjaan mereka berdua survey ke hotel-hotel di sekitaran Jakarta, kok. "Mau apa enggak?"
"Enggak." Trinda meringis. Tepat saat tiba di depan lift. "Besok pagi aja. Malem ini kita di apart-ku aja, atau di apart masing-masing kalau Mas takut disatroni masku."
Pintu lift terbuka. Mereka masuk.
"Bukan takut, kali." Mail berbisik.
"Tapi?" Satu alis Trinda terangkat.
"Males ribut. Kalau dia nyuruh pilih antara dia sama kamu, aku mau jawab apa?"
"Ya pilih aku, lah. Pilih dia tuh, emang Mas mau jadi pelakor?"
~
Sepertinya, Mail menyesal mengiyakan ajakan Trinda.
Dia sudah tau teorinya, tapi ketemu langsung dengan sekelompok ABG asing yang shining shimmering splendid, somehow membuat Mail merasa terintimidasi.
Dia sama sekali nggak terlihat tua—kata siapa tiga puluh itu tua??
Juga dia cukup percaya diri bahwa dirinya biasa berbaur di mana saja.
Tapi ketika semua mata memandangnya kelewat hormat, seolah dia ini sesepuh, Mail auto mati gaya.
Mana bocah-bocah ini obrolannya nggak banget. Ngalah-ngalahin geng bapack-bapack Nowness One Pacific Place di jam tujuh pagi. Ketika Mail dan Trinda masuk, yang terdengar di kupingnya adalah sesuatu tentang menyuntikkan plasma darah suami ke istri, like ... seriously guys, you guys talk about that before eating?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dated; Engaged [COMPLETED]
HumorSekian lama move on, Trinda mendadak CLBK-crush lama belum kelar-melihat mas-mas mempesona berkemeja batik slimfit incarannya delapan tahun silam muncul tanpa gandengan di depan publik untuk pertama kali, plus terkonfirmasi jomblo. Harapan auto terb...