17 | kampret, tapi mail sayang

17K 2.2K 156
                                    

Nyoh, onta kesayangan kalian muncul jadi cameo.



Yang ditunggu-tunggu muncul tidak lama kemudian.

Mail segera bangkit dari sofa yang diduduki. Pasang senyum lebar.

"Brother," sapanya.

Tapi boro-boro membalas, Zane malah pasang wajah sewot. "What do you want?"

"Gitu amat sambutannya? Susah-susah gue samperin ke sini."

"Let's just cut the crap. I don't feel like consuming your bullshit on Wednesday. Lagian lo ke sini bukan buat gue."

"Maksud?"

"Gue lihat story cewek lo."

"Ah." Mail mesem. "Well ... she's a bonus. But I came intentionally to see you. Baca email gue gih."

Zane mendesah, merogoh ponsel di saku jasnya, kemudian mendudukkan bokong ke sofa panjang di sebelah Mail. "Apaan nih?"

Mail menaikkan satu alis karena nggak dipersilakan masuk ke unitnya, malah diajak nongkrong di lobby. Tapi berhubung dia yang butuh, ya manut saja. "Please, be my landlord."

"Nggak salah orang?"

"Ya nanti gue ke Bimo juga. Sekarang ke elo dulu."

"Hmm ...." Siluman Onta membaca attachment email yang dikirim Oscar dengan saksama. "You know, gue nggak tertarik bisnis properti. Langsung aja ke Bimo."

"Seriously? You're gonna turn me down like this? Minimal pertimbangin dulu, kek."

"Cuy, it's not like I have unlimited resources. Katakanlah bisa gue usahain. But does it make sense for me to put money into a field I'm unfamiliar with?"

"Mungkin nggak, gue bakal ngejerumusin lo?"

"Who knows? Lo bahkan nusuk Agus dari belakang."

"Sialan." Mail tertawa miris. "Can we put that aside for a second? Gue ke sini beneran mau ngomongin bisnis."

"Bisnis apa? Jangan mau kerja sama Ismail. Nggak barokah."

Mail dan Zane menoleh demi mendapati Ehsan sudah berdiri di dekat mereka.

"Ngapain lo di sini?" Mail nanya.

Ehsan berdecih. "Elo yang ngapain di sini?"

Zane pilih nggak menjelaskan dan langsung bangkit berdiri. Berjalan menuju deretan lift berada.

Mau nggak mau kedua temannya berjalan membuntuti.

"Gue tanya, ngapain lo di sini?" Mail nanya lagi begitu mereka bertiga memasuki lift kosong.

"Kerja, lah. Terus mampir karena inget temen. Emang lo, dateng kalau ada perlunya doang?" Ehsan merangkul leher Zane, dan Mail merasa dipojokkan. "Si Ucok ngajakin bisnis apaan, Bang?"

"Properti." Zane menjawab tidak antusias.

"See? He never hangs out where money isn't involved. Sungguh teman yang budiman. Kalau gue nggak nyamperin apart-nya tiap minggu, mungkin dia udah lupa kalau gue ada. Mentang-mentang gue nggak punya duit."

"Woy, seriously?" Mail mendesah pelan. "Oke, oke. Gue menyesal nggak menggubris kalian di apart gue minggu lalu. I was stressed at the time, okay? Terus, sekarang juga gue dateng bukan buat bercanda. I really need help. Sayang banget kalau rukonya Zora lepas gitu aja. Maybe I'm not a property guy who can convince you with fancy speech, tapi gue udah nempatin tempat itu selama sepuluh tahun. Lo nggak bakal menyesal."

Lift berdentang dan terbuka. Zane keluar duluan, menunjukkan jalan ke unitnya. Lalu lagi-lagi masuk duluan tanpa mempersilakan Mail duduk. Benar-benar pendendam.

Tetap saja Mail duduk tanpa disuruh. Melanjutkan promosinya dan memaksa temannya yang kelihatan acuh itu untuk mendengarkan. "Lo tau sendiri lokasinya ada di daerah strategis. Value-nya udah pasti naik terus. Sekarang sewa pertahunnya udah lebih dari 1M. Lo kalau udah capek kerja, diem aja di rumah. Gue yang kerja. Lo tinggal nerima duit sewa dari gue."

Zane menggeleng. "I prefer to keep my assets liquid."

Ehsan sepakat. "Lo kayak agen aja, bilang value mesti naik. Nyatanya, jual properti segede gitu nggak gampang, biar lokasinya strategis kayak gimana juga. Sekarang coba lo lihat si Zora. Kalau emang segampang itu, udah di jual sendiri dari kemarin-kemarin, nggak nunggu sampai mepet jatuh tempo bank."

Mail kicep. Baru sadar kalau dia nggak sejago itu dalam berjualan.

"Bisa lo pertimbangin dulu nggak sih? At least, karena nggak pakai agen, lo bisa dapet harga lebih miring. Gue beneran nggak pengen pulang dengan tangan hampa."

"Gimana, San?" Zane menoleh ke Ehsan.

Ehsan langsung songong. "Kalau duitnya ada, nggak ada salahnya juga sih dipertimbangin. Tapi ni anak sengak banget. Kalau gue jadi elo, Zane. Mending gue biarin likuid aja. Atau kalau emang pengen nyoba properti, di mana aja asal bukan sama Mail. Eneg gue lihat mukanya. Kita dianggep temen aja kagak."

"Ck." Mail ingin mencekek temannya itu biar diam.

Zane manggut-manggut. "Oke, gue pertimbangin. Tapi ... apa, San? Kasih syarat, dong? Enak aja main kita iya-iyain."

"Suruh jelasin coba, gimana asal muasal dia bisa sama adeknya Agus."

"Not that one. Anything but that one."

"Masalahnya kita keponya cuma sama yang satu itu."

Satu napas panjang terembus dari hidung Mail.

Nih temen-temennya emang kampret banget ya?

Dated; Engaged [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang