1 │ nggak jadi mampus

61.5K 4.5K 681
                                    


Mail merebahkan diri di kasur sambil memijat pelipis.

Asli, capek banget.

Padahal, kalau mau sedikit santai sekarang, setelah kerja keras delapan tahun terbayar, ya bisa-bisa saja kalau mau. Nurutin mimpi mah, sky's the limit. Nggak bakal ketemu ujung.

Lihat saja, zaman masih sibuk merintis brand dulu, standar sukses yang dia tetapkan sesederhana omzet sekian digit per bulan, untuk satu-satunya kedai kopi miliknya saat itu. Lalu ketika pelanggan mulai datang sendiri, target ikut melar. Sekarang, saat peta usahanya sudah kayak jamur se-Jawa dan Bali, yakin cukup sampai di situ?

"Capek, Mas?"

Pake nanya!

Tapi cukup Mail senyumi saja. Repot kalau dia nyolot.

"Mau dipijitin?"

Pacarnya, Trinda, nanya lagi.

Dengan senyum masih terulas, Mail balik badan. Menyodorkan punggung, memberi space pada sang pacar untuk beringsut ke sisinya dan mulai mengurut pelan dari belakang leher.

"Makanya buruan ketemu Bapak-Ibu. Buruan dihalalin ini cewek. Biar ada yang merhatiin. Merana kan, tiap capek pulang kerja nggak ada siapa-siapa di rumah? Nggak ada yang bisa diajak berkeluh kesah."

What a bad timing.

Mail sadar, cepat atau lambat, ini adalah topik yang harus dia hadapi. Tapi nggak harus di hari Senin jam pulang kerja juga kali?

And what a bad starters also. Kalau saja Mail nggak segera istighfar dalam hati, mungkin dia sudah mati tersedak mendengar tembakan tanpa aba-aba itu.

"Mau denger yang manis-manis atau yang serius?" tanyanya kalem—meski mungkin malah terdengar menyebalkan di kuping Trinda. "Soalnya, kalau kamu mau jawaban serius, kayaknya aku minta waktu seenggaknya sejam, buat ngambil otak yang ketinggalan di kantor."

Tentu saja, mendengar hal itu membuat Trinda menghentikan gerakan tangannya seketika. "Bercandamu nggak lucu, Mas."

"Emang nggak lagi bercanda."

Tidak langsung ada sahutan.

Kedua tangan Trinda perlahan lepas dari bahu Mail—tanda bukan saatnya Mail bersikap offensive.

"Then should I just shut up, cuz it looks like you're going to throw up?"

Code blue.

Cepat-cepat Mail bangkit duduk. Dengan helaan napas panjang, dia pandang seksama pacarnya yang kini menunjukkan ekspresi tersinggung itu, lalu perlahan dia raih tangannya untuk digenggam.

"Babe, I always like to talk to you. But this is not how adults talk about marriage, no?" tanyanya, berusaha terdengar seadem mungkin.

Cranky dan ngambekan bukan sifat alami Trinda. Kalau malam ini dia bikin Mail rada depresi, mendadak menuntut ketemu dengan orang tuanya tanpa ngomong baik-baik, pasti ada trigger-nya. Maka sebagai yang lebih tua dan berkewajiban ngemong, Mail harus sabar.

"Lha Mas nggak pernah nginisiasi. Kalau bukan aku yang mulai sekarang, kapan lagi mau dibahas? Masih serius kan, macarin anak orang? Nggak mendadak berubah pikiran?"

"Ya serius, lah, Trinda. But marriage is another level of seriousness. Kudu dipikirin mateng-mateng."

"Emang selama hampir setahun ini nggak pernah dipikirin sama sekali?"

"It's seven months and twenty seven days. Not even close to a year, fyi. Are you sure you want us to talk about this topic right now? Are you sure seven months are enough for you to decide?"

Dated; Engaged [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang