13 | sambutan kedua

16K 2.2K 144
                                    


Bude Hari membalas pesan Mail bertepatan dengan adzan Isya berkumandang, menginformasikan bahwa beliau baru saja tiba, juga memintanya untuk bergabung makan malam di kediaman eyang.

Cepat-cepat Mail ngaca. Sekali lagi mematutkan penampilan di cermin. Agak merasa aneh karena nggak biasa pakai sarung dan peci.

Bagas bilang, jam makan malam mereka itu ba'da Isya. Kalau nggak mau canggung, ujug-ujug muncul di tempat makan, ya paling bener ikut jamaah dulu di musala, baru kemudian jalan ke sana bareng-bareng yang lain.

"Ini nanti nggak semuanya ikut ngumpul, kan?" Mail mengernyit melihat mushola lumayan ramai di kejauhan.

"Eung ...." Bagas meringis. "Karena masak dan nyuci piring sendiri-sendiri itu ribet, biasanya emang pada numpang makan di tempat eyang sih. Tiga kali sehari."

Jawaban Bagas kontan membuat kaki Mail melemas.

Maunya sih menghargai budaya keluarga orang. Tapi membayangkan akan langsung dikerubungi para sesepuh di kunjungan pertama membuat Mail ingin segera bersimpuh di hadapan Tuhan dan memohon ampun.

Ribet amat keluarga Trinda Ya Allah?? Kalau gini ceritanya, siapa yang punya nyali meminang anak gadis dari keluarga ini?

"Lho, Mas? Baru ngeh." Sekelompok bude-bude yang jalannya pelan dan kesusul langkah Mail dan Bagas menegur. "Kirain temennya Bagas tadi. Gimana kabarnya? Sehat?"

"Alhamdulillah sehat, Bude. Keluarga di sini semuanya sehat-sehat juga, kan?" Mail menangkupkan kedua tangan di depan dada dan membungkuk menyapa semuanya yang kebetulan sudah pada pakai mukena.

"Ini Mas Ismail kan ya? Lupa-lupa inget namanya." Salah satu bude nanya.

"Lha iya, kan Mas ini yang jadi MC resepsinya Agus." Bude yang lain menimpali.

Jujur, Mail malah nggak tahu nama mereka karena nggak merasa pernah dikenalkan. Tapi mengetahui mereka ingat namanya, dia jadi makin pesimis pada keberuntungannya malam ini.

"Ke Magelang dalam rangka ekspansi bisnis, kah? Atau gimana? Duh, Bude nggak sabar lho lihat kafemu di sini. Kemarin pas ke Jakarta diajak mampir ke kafemu sama Bude Hari. Kopinya enak."

Astaghfirullah, ini keluarga tahu banget seluk beluk dirinya?? Apa Gusti kalau kehabisan topik, demen ghibahin temen di meja makan?? Mail nggak tahu harus bersyukur atau menangis.

"Enggak, sih, Bude. Belum. Hari ini emang sengaja mau ke sini. Bukan karena kerjaan."

"Oooh, liburan? Oke, oke. Ayo salat dulu, abis itu ngobrol di tempat Eyang. Nggak tau deh, Yang Kung sama Yang Ti ke mushola apa ndak. Kayaknya tadi siang ada tamu, terus katanya capek. Gimana, Gas? Eyangmu udah lewat apa belum?"

"Pasti udah duluan dong, Bude, minta disusul Iqbal. Kalau belum, udah ribut minta dijemput, lah. Kan Eyang buyut bilangnya lagi males jalan kaki."

Eyang Buyut males jalan kaki dia bilang?

Ginjal Mail langsung gatel. Antara pengen nempeleng Bagas atau diri sendiri.

Selepas berpisah dengan para bude yang masuk ke area khusus wanita, Mail berbisik. "Eyang Buyut tiap hari masih ke mushola juga?"

Seingat Mail, beliau udah sepuh banget. Mungkin sudah lebih dari sembilan puluh tahun. Dan saat bertemu di syukuran empat bulanan Iis, beliau sudah pakai wheelchair.

"Iyalah, Mas. Dikasih umur panjang di dunia buat apa?"

Jawaban Bagas itu menohok Mail langsung ke ulu hati.



Janji, ini part pendek dan gak serius terakhir sebelom Mael ketemu Bude Hari.

Dated; Engaged [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang