d-2 | mirror mirror on the wall

35.1K 2.7K 80
                                    




2 | mirror mirror on the wall



Karena yang terjadi di halaman rumah Mbak Iis tadi terlalu memalukan, Trinda memutuskan menolak tawaran Mas Bimo untuk mengantarnya ke IGD, memilih pergi berdua saja dengan Winny.

Ibunya setuju, setelah diyakinkan bahwa luka anaknya tidak semengerikan itu.

Setelah dijahit, sejujurnya Trinda tidak terlalu merasakan sakit lagi. Tapi dendamnya ke Bagas malah makin membubung tinggi begitu tahu gigi depannya patah dua, dan jahitan di bawah dagunya lumayan panjang.

"Awas aja tuh anak, besok pagi kusunat lagi!" Nyaris tengah malam, cewek itu ngomel sendiri sembari merebahkan diri ke ranjang hotel yang dipesan ibunya untuk menginap keluarga mereka semua. Sekarang badannya mulai terasa capek-capek semua, butuh ditempeli koyo segambreng.

"Jijik." Winny yang menyusul masuk di belakang Trinda mendengus membayangkan adegan sunat menyunat betulan.

Tak lama kemudian melihat temannya begitu rajin menghapus makeup, Trinda yang sudah ngantuk terpaksa dia bangkit juga, daripada besok pagi panen jerawat.

"Aku nggak mandi, tapi ganti baju doang nggak pa-pa ya, Win?" Trinda merasa perlu meminta persetujuan teman sekasurnya, biarpun kamar ini dipesan untuknya.

"Serah lo." Temannya ngacir duluan ke kamar mandi.

Selesai bebersih muka, membongkar hairdo, dan ganti pakaian, Trinda rebahan di kasur lagi. Iseng mengirim invoice pengobatannya tadi, juga foto kondisi terkininya yang butuh tambal gigi aesthetic dan perawatan lanjutan biar jahitannya nggak membekas, ke grup WhatsApp keluarga.

Lama menunggu Winny yang tak kunjung muncul, Trinda mendadak ingat sesuatu.

"Win, tadi kita pake mobil Mas Ismail?" tanyanya. Tapi karena Winny yang sedang mandi nggak dengar, dia memutuskan bangkit untuk mencari-cari kunci mobil yang digeletakkan Winny di meja.

Mini?

Trinda duduk lunglai di sofa dengan smart key mobil itu di tangan.

Percuma juga, dia baru ketemu Mas Ismail di acara tadi, mana dia tahu mobilnya apa?

"Paan?"

Syukurlah, nggak lama kemudian Winny muncul dengan handuk membebat kepala.

"Kita tadi beneran pake mobilnya Mas Ismail?" Trinda mengulang pertanyaannya penuh harap.

"Kayaknya sih iya. Countryman merah." Winny duduk di sebelah Trinda, menyipitkan sebelah mata. "Kenapa? Mau heboh? Dipinjemin mobil doang, say. Itu juga temennya yang inisiatif, karena kebetulan si mas parkirnya paling strategis."

"Please, jangan merusak kebahagiaan orang lain."

Winny mau ketawa, tapi nggak tega.

Jarang-jarang loh Trinda kasmaran begini. Padahal selama tiga tahun berteman, Trinda lempeng sekali meskipun jadi satu-satunya yang nggak punya pasangan di lingkaran pergaulan mereka.

"Menurutmu, aku punya peluang kan, Win?" Trinda nanya lagi, padahal mustahil Winny bisa memberi jawaban.

"Bukannya tadi lo bilang ada?"

"Ya itu aku lagi berusaha optimis aja. Tapi aku mau tau pendapatmu."

"Kalau ada mah, ada aja. Dia cowok, elo cewek, sama-sama straight ... ya pasti ada aja sih peluangnya."

Dated; Engaged [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang