d-18 | you could turn my sorrow into a song

18.3K 1.5K 230
                                    

Pemenang voucher Karyakarsa chapter sebelumnya: yul_nda 3,5 k & Rfty97 2k




18 | you could turn my sorrow into song



Waktu berjalan lambat kalau lagi sedih? Nope. Waktu berjalan sebagaimana mestinya.

Selama hampir tiga bulan berduka, walau terasa stuck, nyatanya sudah banyak yang Trinda lalui. Ujian magang, revisi laporan, kuliah tatap muka setengah semester, UTS .... Memang nggak ada yang 'wah', but it's not that she's not progressing, right?

Tanpa ditunggu-tunggu, d-day europe trip juga akhirnya tiba sebagaimana mestinya.

Sebagai penanggung jawab transportasi, Winny menang banyak, jadi satu-satunya yang mendapat window seat. Dengan seat plan 1-2-1, sisanya mendapat seat tengah. Theo di deretan nomor dua dari depan, sederet dengan Winny, terpisah hallway. Sementara Trinda-Saga dan Michelle-Gibran berturut-turut mendapat deretan paling belakang.

"You look nervous." Saga berkomentar setelah memasukkan backpack-nya ke bagasi kabin dan mendudukkan diri di sebelah Trinda.

"Pening." Trinda menjawab singkat. Mual, kembung, kurang tidur, lanjutnya dalam hati. Tapi Trinda nggak mungkin mengeluhkan itu semua dan membuat temannya nggak nyaman, kan? Mereka semua mau senang-senang, bukan mengabdikan diri menghibur Trinda.

Ingat Trinda agak sensitif terhadap wangi-wangian, Saga mengeluarkan sebungkus masker baru dari kantong laptop case-nya, mengulurkannya ke Trinda. "Ganti sama yang lebih tebel."

"Thank you."

Dan benar saja, Trinda hampir tidak bisa menikmati penerbangan pertama mereka gara-gara kurang enak badan. Malah, dia dan Saga jadi kelihatan seperti pasien dan dokter pribadi.

Delapan jam nggak merem sama sekali, begitu tiba di Doha dan mendapati lounge Qatar rame banget kayak pasar sampai kesulitan mendapatkan tempat duduk nyaman, kontan Trinda mau menangis.

Nowadays, everyone is rich and seems to be able to afford business class. Tahu gitu mereka nambah dikit, bisa dapat first class Emirates. Biarpun bukan lounge terbaik di kelasnya, tapi seenggaknya terjamin bakal dapat tempat untuk tidur selama transit.

"Mau makan dulu nggak?" Winny masih belum menyerah celingukan cari meja.

Trinda menggeleng. "Kalian makan deh, aku mau tidur dulu, makan besok pagi pas mau berangkat."

Yang lain mengangguk-angguk, sementara Saga memutuskan menemani Trinda dulu. "Gue anter Trinda nyari bed. Tolong cariin gue kursi sekalian, kalau ada."

Lelah berjalan cukup jauh, Trinda menghentikan langkah. "Kamu tinggal aja, nggak apa, Ga. Kamu juga capek, pasti."

"Tunggu di sini." Tidak mengindahkan ucapan Trinda, Saga meminta cewek itu diam di tempat, sebelum kemudian mendorong kopernya menjauh meninggalkan si cewek bawel dan ngerepotin itu.

Trinda kayak anak ilang, tapi nggak mungkin ke mana-mana. Lebih pusing kalau sampai nanti Saga mencarinya.

Beberapa menit berselang, yang ditunggu-tunggu muncul juga. "Yuk."

Cowok itu mengambil alih koper Trinda. Trinda berjalan mengikuti. Sadar dirinya kayak benalu, tapi terlalu letih untuk sok tegar.

Kayaknya, tempat yang mereka tuju adalah satu-satunya sleeping cubicle kosong yang tersedia. Nggak ada tempat tidur sebagaimana di first class lounge, hanya ada kursi, tapi masih kelihatan cukup nyaman untuk tidur di situ.

Dated; Engaged [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang