22 | kukira kau rumah [part 1]

14.5K 1.8K 41
                                    


Demi Tuhan, Mail nggak menyangka akan kembali mendatangi kediaman keluarga pacarnya secepat ini. Dalam situasi lebih kacau pula.

Kalau mau berpikir positif, mungkin ini cara Tuhan mengingatkannya. Bahwa hidupnya selama ini sudah terlalu melenceng. Bahwa yang dia lakukan bersama Trinda selama ini nggak benar. Dan sudah saatnya mereka berdua meluruskan diri.

Tapi ngomong doang sih gampang. Nyatanya, meski sadar dosanya banyak, Mail kesal juga apabila sesuatu tidak berjalan sesuai harapannya seperti saat ini.

"Mas?"

Karena penumpangnya itu bengong saja, padahal sudah beberapa saat berselang sejak mereka berhenti di depan portal, bapak supir taksi menegur Mail.

"Eh? Maaf." Mail gelagapan. Dan ketika menoleh ke pos sekuriti, dia menemukan mas-mas yang belum pernah ia jumpai sebelumnya. "Mau bertamu ke Bude Hari. Dari Jakarta."

Mas-mas dengan blankon di kepala itu mengangguk. "Silakan langsung menuju ke joglo pertama ya, Mas. Nanti ada yang nyambut di ruang tamu."

Ismail mengangguk dan taksinya pun melanjutkan perjalanan.

Guess what? Yang pertama dilihat Ismail ketika turun dari taksinya adalah seorang perempuan muda rambut panjang terurai, berjalan setengah menunduk dari arah salah satu joglo, fokus melakukan sesuatu pada handphone di tangan. Sebuah travel bag ukuran sedang ada di jinjingan tangannya yang lain.

Terlihat asing.

Bukan wajahnya, tapi auranya.

Hari ini Mail seolah tidak mengenalnya.

Bagaimana tidak? Bahkan, hingga kemarin, perempuan itu masih menjadi tersangka yang membuatnya gila tapi berbunga-bunga. Hari ini? Dia membuat Mail gila juga, tapi dalam arti yang sesungguhnya.

Is she truly worth the fight?

Cuz Mail is getting tired.

"Berangkat sekarang, Mbak?" Sebuah suara membuat Mail menoleh ke sumbernya-sebuah jeep hitam yang baru saja tiba.

Yang ditanyai, perempuan muda itu, mengangguk.

Tapi belum sempat dia melangkah lagi, pandangannya tidak sengaja beralih ke Mail, dan taksi yang baru saja meninggalkan tempat.

Sesaat perempuan itu tercenung, sebelum kemudian menoleh ke kendaraan yang menungguinya.

"Standby di pos dulu aja, Pak. Nanti kalau jadi berangkat, saya telpon," ujarnya pada pak supir, lalu membelokkan langkah menuju tempat Ismail berdiri di depan joglo ruang tamu.

"Mas?"

Melihat sang pacar kini sudah berdiri di hadapannya, Mail tetap nggak bisa berkata-kata.

Naluri pertamanya adalah meluapkan kekesalan. Tapi nggak mungkin dia lakukan dong. Kalau dia jadi Trinda, hal terakhir yang dia harapkan adalah bertengkar dengan pacarnya di rumah orang tuanya sendiri.

Melihat keberadaan Mail, Trinda kelihatan surprised. "Kenapa nggak bilang kalau mau ke sini?" tanyanya. "Aku cuma pulang sebentar. Ini udah mau balik lagi ke Jakarta. Flight jam setengah tiga."

Seriously? Berlagak bego?

Satu alis Mail terangkat tanpa sadar.

Tentu saja, selama setengah tahun lebih pacaran, ada momen-momen di mana dia merasa kesal terhadap pacarnya-begitu juga sebaliknya. But ... today was way too much for him to digest. Bawaannya jadi pengen berbuat jahat, bermulut kejam.

Tapi untung akal sehatnya masih jalan.

"Aku janjian sama ibu kamu," ujar cowok itu akhirnya, pilih menunda keributan, karena Bude Hari bisa muncul kapan saja.

"Ibu lagi nerima tamu. Ayo masuk dulu." Perempuan itu membawa mereka berdua masuk ke ruang tamu, tempat seorang ibu-ibu berjarik dan berkebaya kutu baru sudah menunggu untuk menawarkan minum.

Selepas mereka berdua duduk, dan ditinggal ke belakang oleh ART tadi, Trinda kembali bersuara. "Ibu bilang apa? Kalau Mas tau aku di sini, kenapa nggak ngabarin aku kalau mau ke sini?"

"Katamu flight jam setengah tiga?" Bukannya menjawab, Mail menanyakan hal lain.

Dari nada bicara pacarnya yang nggak ada manis-manisnya, nggak mungkin Trinda nggak sadar bahwa sedang ada jarak di antara mereka berdua. "Ngapain aku balik kalau kamu lagi di sini? I'll stay. Aku temenin kamu ketemu Ibu." Perempuan itu bersikeras. "Ibu bilang apa? Ada apa sampai minta kamu ke sini di hari Senin gini?"

Tentu saja Bude Hari nggak memintanya datang.

Ini adalah inisiatif Mail sendiri, karena membiarkan kesalahpahaman menggantung begitu saja bukanlah gayanya.

Pagi ini, ketika Bude Hari menelepon dan secara tidak langsung menuduh putrinya pulang menemui ayahnya karena Mail, Mail merasa sakit sampai mau muntah.

Bagaimana bisa pacarnya malah nggak sadar konsekuensi dari tindakannya? Setelah jelas-jelas kemarin mereka sepakat bahwa Trinda nggak akan melakukan apapun yang akan membuat Mail jadi orang tolol di hadapan kedua orang tuanya?

"Honestly, now I feel like an idiot." Mail menyandarkan punggungnya ke kursi, lalu memandang ke arah manapun asal bukan perempuan di sebelahnya. Merasa pedih.

Trinda berusaha menangkap dan menggenggam tangannya. Setelah diabaikan, barulah perempuan itu panik. "Mas ... jangan ngomong gitu. Why would you feel that way?"

Sebuah tawa yang seperti keluar dari film horor keluar dari bibir Mail.

Dari skala satu sampai sepuluh, seberapa muak Mail terhadap situasinya saat ini adalah sepuluh.


PS. Mon maap chapternya kepotong sampe sini dulu, soalnya kalo nunggu kelar ngetiknya 1 chapter, malah gak update-update :(

Dan mon maap juga delay pesawatnya mael lamaaa. Kayaknya tiap masuk chapter konflik di cerita manapun, w selaloe kena macet gini. Gak demen konflik soalnya, wqwq.


Dated; Engaged [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang