2 │ warming up

38.7K 3.9K 469
                                    


Mail masih rada-rada kagok kalau harus bertemu tatap lagi dengan Gusti, biarpun ketemunya nggak cuma berdua, dengan setting tempat bukan di unit apartemen miliknya.

Masih merasa ... bersalah?

Yeah, Trinda memang nggak pernah dia apa-apain, sih. Nggak dia paksa buat jadi pacar juga. Apapun yang sedang mereka berdua jalani saat ini, semuanya berdasarkan kesepakatan bersama. Mau sama mau.

Cuma kebetulan, memang nggak pernah dia deklarasikan aja. Karena ... buat apa? Mail nggak mau ada intervensi sama sekali, berhubung yang jadi pacarnya sekarang bukan 'orang luar', yang mana kemungkinan campur tangan dari ring one-nya jelas juga jadi besar.

Bayangin, dia lagi macarin 'adek kita bersama', Man!

Biarpun Mail sama sekali nggak berniat main-main, tapi who knows? Ngasih tau semua orang, di saat dia belum yakin dua ratus persen tuh, seandainya gagal, bakal kena hujat dan sudah pasti berdampak buruk pada hubungannya dengan si calon abang ipar ini. Dan kalaupun berhasil meyakinkan keseriusannya, dia nggak mau sampai didorong-dorong untuk menyegerakan hal yang tentu saja ingin dia segerakan, kalau saja sudah siap lahir batin!

Intinya ... ya kalau mau ngomong pun butuh momen yang pas, biar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

"Agus jadi zombie gini karena tiap malem begadang nemenin bini yang insom mulu." Ehsan, si kutu kupret kembaran Gusti, mulai nyinyir sambil memamah biak sosis di piringnya, di salah satu meja pinggir di kedai kopi Mail di One Pacific Place, yang sudah buka dari jam tujuh pagi, dan sejak hari pertama buka dua tahun lalu sudah dinobatkan jadi tempat sarapan wajib bagi teman-temannya yang rata-rata adalah budak korporat SCBD. "Patut diacungi jempol emang, calon bapak siaga ini."

Yang lagi diomongin, nggak peduli. Sibuk makan juga, keburu telat ngantor.

Di rumah, doi nggak pernah dikasih sarapan soalnya.

Bininya nggak bisa masak.

Dulu sebelum hamil, Yang Mulia Iis Jamilah Prawirodiprodjo emang rajin ngorderin sarapan buat berdua, biar bisa makan romantis pagi-pagi. Tapi makin besar perutnya, makin suka mual mencium bau masakan yang aneh-aneh, sang laki pun terpaksa sadar diri. Kalau lagi nggak kepengen makan yang tawar-tawar kayak bininya, ya sono cari makan sendiri di luar.

Yang lain—Ahmad, Ridho, dan Zane—nggak peduli juga. Nggak merasa berkepentingan dengan topik yang dicetuskan temannya.

"Terus lo ngapain? Muka kayak nggak pernah dipake merem setahun gitu?" Mendadak Ehsan menoleh pada Ismail bin Mail, yang kontan jadi melongo, nggak paham kenapa dirinya dibawa-bawa. "Pacar nggak punya, bini nggak punya, keluarga jauh, udah jadi juragan juga. Nggak usah sok-sokan sibuk kerja, deh!"

Belum sempat Mail menyahut, Ridho sudah nyablak duluan. "Ya justru karena nggak ada pacar nggak ada bini itu, Bray, muka jadi asyem begini. Lama tidak dibelai."

Bangsat.

Mail masih ngantuk, susah nyari ide untuk membela diri.

Jadilah dia cuma menguap sambil geleng-geleng kepala. Melirik arlojinya sekilas, sambil sebisa mungkin berusaha menghindari tatapan Gusti yang duduk tepat di seberangnya.

Jam delapan nanti, dia ada janji ketemu beberapa mahasiswa yang mau presentasi proposal sponsorship—makanya sepagi ini dia terpaksa sudah melek dan sarapan. Mail masih ingat betul nggak enaknya jadi tukang nyari dana yang bukan untuk kepentingan pribadi, jadi dia nggak mungkin nolak atau mengganti-ganti jadwal seenak jidat biarpun semalam nggak bisa tidur sama sekali setelah disatroni tamu tak diundang.

Iya, Mail was-was. Mendadak merasa SCBD terlalu sempit, dan khawatir kalau bukan Gusti, siapapun temannya bisa saja memergoki dia sedang bersama Trinda, sekalipun mereka berdua jarang pergi ke mana-mana.

"Ah, si bangsat mana ada jomblo? Tau sendiri, dari dulu lowongannya nggak pernah sepi peminat."

Lah?

Gusti yang nyeplos.

Membuat seisi meja kontan jadi fokus pada objek yang sedang dibicarakan.

"Pada nggak tau, kan? Iya, emang dirahasiain, biar nggak ada yang ganggu." Gusti menambahkan tidak lama kemudian, masih dengan nada santai. "Udah mau serius kayaknya."

Mail yang tidak menyangka akan mendengarkan pernyaan barusan dari kakak kandung pacar rahasianya, cuma bisa melongo, plus merasa jedug-jedug di dada.

"Ini ngomongin saha?" Ridho masih pasang tampang bego, menyuarakan pertanyaan dalam hati para hadirin sekalian.

"Temen lo. Ismail bin Mail. Yang kalau lo sidak tempat tinggalnya, bakal nemu banyak jejak calon nyonya rumah." Gusti menjawab enteng, membuat yang sedang dibicarakan mendadak merasa mulas perutnya.

"Biasanya juga banyak jejak. Tengok aja yang kececeran di lantai kamarnya." Zane sotoy. Padahal Mail berani sumpah, dia nggak pernah buang sampah sembarangan—apalagi sampah yang aneh-aneh—karena kebetulan dia dan Trinda memang lumayan rapihan orangnya.

"Beda, Man." Gusti ngotot mempertahankan penilaian subjektifnya. "Gue udah ngalamin. Jadi bisa ngebedain aura yang udah mau serius, sama yang masih mau seneng-seneng doang."

"Tolong ...." Ahmad yang dari tadi diam, akhirnya ikut bersuara. "Situ seumur-umur kenal cewek cuma satu. Nggak pake pacaran, langsung ijab-kabul. Lagian ini yang serius ceweknya, apa si Abang Ismail?"

"Calon nyonya, lah ...." Gusti lalu meliriknya tajam, membuat Mail auto berpikiran negatif. "Tapi kalau temen lo ini masih nggak luluh juga ... gimana kalau kita lempar ke laut aja? Bikin malu. Anak orang dikoleksi doang dari zaman baheula."

Ugh.

"Tapi kalau serius ... kenapa disembunyiin?" Ridho nanya.

Gusti pass.

Ganti Zane yang berspekulasi. "Karena ada yang nggak beres. Jadi khawatir malah runyam kalau digembor-gemborin sekarang."

"Misal?" Ehsan mencoba mengerucutkan kesimpulan. "Hamil duluan?"

"Maybe." Zane angkat bahu dengan santai. "Atau nggak ... coba kalian yang punya adik, kakak, sepupu atau ponakan cewek ... hubungi mereka semua. Jangan-jangan ada yang masuk jaring ini wewe gombel. Makanya diem-diem bae, takut nggak direstuin."

"Bisa, bisa ...." Semuanya manggut-manggut bego.

Mail pasang wajah tanpa dosa. Tapi karena nggak tahu harus ngomong apa, dia pilih kabur saja.

"Tolong kalau udah pada kelar makan, jangan lupa bayar ya, Saudara-Saudara."


DIRECTOR'S CUT

"Oz, bikin janji sama Agnez. Ambil yang ready aja jangan indent, terserah mau yang mana, asal cepet."

"Agnez sales-nya Mini yang semlehoy itu?"

"Ye."

"Beneran terserah gue? Ambil Countryman lagi nggak apa-apa?"

"Jangan yang merah lagi."

"Buat gue kah ini? Lo ketempelan kunti di mana, Shay? Baik amat. Atau ... semalem Dek Trinda oke banget servisnya? Jadi lo kebawa happy sampe sekarang."

"Nggak usah ngaco."

"BUAT TRINDA YA MOBIL BARUNYA??? BIAR AMAN KALAU DESEU PAPASAN SAMA GUSTI DI JALAN??? Ogah kalo gitu. Suruh dia pergi ke dealer sendiri. Gue bukan PA-nya Trinda. Bhay!"

Dated; Engaged [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang