3 | sebuah tekad menghapus diri dari daftar hitam

34.7K 3.6K 638
                                    


"Nggak usah mampir ke sini. Langsung balik aja sebelum hujan. Nanti aku nyusul ke tempatmu pake ojol." Mail menjawab telepon Trinda sambil kipas-kipas.

Sejak beberapa jam lalu, dia sudah susah fokus karena mendadak AC ruangannya di kantor Nowness soak. Tukang servis langganan baru bisa menjanjikan datang besok pagi-pagi sekali, membuatnya terpaksa kerja pakai singlet doang.

Sekarang sudah jam enam lewat, jelas sudah nggak sepanas sore tadi. Tapi karena badan terlanjur lengket, ya gerah aja bawaannya.

"Jangan kayak rumahku di Ujung Berung gitu, deh." Terdengar Trinda mendengus di seberang. "Udah belok ke Melawai, nih. Mau disamperin ke dalem, atau kutunggu di parkiran?"

Ck. Percuma ngomong sama Trinda.

"Mending lanjut kerja di apart-ku daripada panas-panasan di kantor, kan?" Trinda mengimbuhi.

Sebelum pacarnya itu sempat berkoar lagi, Mail menutup laptopnya dan bangkit berdiri. "Tunggu di parkiran aja. Aku turun sekarang."

Tepat ketika Mail menuruni tangga dengan tas di pundak dan kedua tangan sibuk memasang sisa kancing kemeja, Countryman merah miliknya terlihat menepi ke pinggir jalan depan Nowness yang halaman parkirnya penuh sesak.

Mail mempercepat langkah.

Tadinya mau ngomel, tapi begitu melihat Trinda, hatinya adem lagi.

Kenapa sih pacarnya masih aja cakep jam segini? Mana langsung menyapa dengan panggilan sayang, kan Mail jadi auto ingat bahwa resenya Trinda semata-mata karena sayang.

"Emangnya aku semena-mena demi siapa?" Begitu tanya si cewek bulan lalu, ketika Mail jatuh sakit dan ketahuan bahwa BMI-nya masuk kategori underweight meski cuma selisih 0,1. Akibatnya, sebisa mungkin Trinda akan memastikan dirinya makan on time dengan proporsi seimbang. "Gain 5 kgs, and I'll stop annoy you."

Well, 5 kgs sounds impossible.

Trinda pasang senyum paling cerah sedunia. Segera pindah ke kursi penumpang depan tanpa melewati pintu, sehingga Mail bisa cepat masuk sebelum diklakson orang-orang.

"Ayam Goreng Berkah?" Trinda memberi ide tempat makan yang searah.

"Take out, ya." Mail menjawab singkat sembari membelokkan setir, menunggu celah untuk menyela kendaraan yang lewat.

"Tumben? Biasanya nyinyir karena take out nambah volume sampah bungkus makanan."

"I'm sweating, Trinda. Kasian pengunjung lain kena bau ketek."

"Aish!" Kontan Trinda mundur sampai mepet pintu, mengibas-kibaskan tangannya seolah bisa menghalau bau badan Mail.

Setelah capek mengantre, akhirnya mereka bisa pulang dengan bungkusan mangga potong, dua ekor ayam goreng, dan tiga nasi putih-bisa sampai empat kalau Trinda lagi kerasukan genderuwo.

"Mandi dulu." Baru juga mau duduk dan bersiap makan, Trinda mendorong Mail ke arah pintu kamar mandi.

"Makan dulu. Nanti keburu ilang lapernya."

"Katanya gerah?"

"Udah ilang kena AC mobil."

Biar adil, mereka memutuskan batu-kertas-gunting.

Tiga kali percobaan, Mail nggak menang-menang juga.

"Emang ada baju ganti di sini?" tanyanya nyari-nyari alasan.

Trinda ogah menjawab, karena sudah sangat jelas.

Mail sebal. "What is my role today? A submisive? Ngalah mulu perasaan," ejeknya.

Dated; Engaged [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang