d-13 | a lightweight drinker, she is

19.9K 1.5K 204
                                    

ripgianti dapet voucher KK 5k, aishaNurull & yul_nda 3,5k




13 | a lightweight drinker, she is



Merasakan emosi negatif nggak sepenuhnya berdampak buruk.

Trinda sudah tahu teorinya, tapi baru sadar sedang mengalami fase tersebut setelah merenung berhari-hari: bahwa rasa sedih karena ditolak Mas Ismail kemarin adalah katalis yang justru memicu dirinya ingin melakukan sesuatu, untuk membuat perubahan.

Mau dianalisis bagaimanapun juga, hubungannya dengan Mas Ismail sebenarnya masih punya peluang.

Dari cara Mas Ismail menolaknya, lalu bolos kerja sehari demi membantunya packing, mengurus checkout apartemen sewaan, serta mengantar pulang ke Depok, nggak ada sikap maupun ucapan lugas yang menyatakan bahwa si mas tidak memiliki—atau tidak berpotensi memiliki—ketertarikan padanya. Padahal gampang saja seandainya mau bilang 'Gue nggak ada perasaan sama lo, lo bukan tipe gue' alih-alih menjadikan umur Trinda dan latar belakang mereka berdua sebagai alasan. Dari situ saja sudah bisa ditarik kesimpulan bahwa Mas Ismail sendiri nggak yakin bahwa mustahil Trinda masuk dalam radarnya.

Jadi, yang dia butuhkan kali ini adalah bersabar, sembari membuat rencana konkrit untuk meyakinkan si mas, kalau mereka berdua akan baik-baik saja. As long as they love each other, emang orang lain bisa apa, sih?

Mas Gusti sudah pasti akan kesal pada mulanya. Bapak Ardiman dan Ibu Hari juga akan mengerutkan dahi kalau sampai tahu.

Kalau dibayangkan sekarang memang agak menakutkan, tapi kan cuma sampai di situ saja. Mereka terlalu rasional untuk memaksakan kehendak—Trinda paham betul hal itu.

Toh, terlepas dari Mas Ismail adalah sahabat Mas Gusti, yang punya selisih umur sembilan atau sepuluh tahun dari Trinda, serta terkenal sebagai tukang main cewek yang record-nya nggak muat dihitung pakai jari, secara objektif dia punya kualitas untuk dijadikan sebagai pacar.

"Ayo, sambil ngerjain tugas, sambil dimakan buahnya, Jeng Trinda. Nanti Ibu marah lagi kalau semuanya dibiarin busuk." Mbak Tri, yang sudah bersiap-siap pergi setelah selesai bersih-bersih, menyempatkan diri mampir ke kamar Trinda dan menyodorkan sepiring aneka buah-buahan yang sudah dipotong-potong ukuran sekali suapan.

Well, tahu-tahu sudah siang. Trinda belum mandi. Dan laptop yang terbuka di hadapannya sejak tadi sudah mati layarnya, tanpa ada satu kalimat pun terketik di sana.

Memang, easier said than done. Tidak berniat menggalau bukan berarti semudah itu lupa. Juga meski niat untuk bergerak sudah membumbung tinggi, merealisasikannya masih butuh usaha. Hari ini dia masih setengah berduka. But she will get off her ass. Soon.

"Iya, Mbak Tri. Makasih banyak." Trinda menjawab sambil meringis, baru sadar kalau mukanya terasa kaku berkat air mata semalam.

"Jangan lupa, besok Mas Agus pulang honeymoon. Butuh dicariin supir untuk jemput ke bandara apa ndak?" Mbak Tri mengingatkan akan hal lain. "Terus Jeng Trinda apa nggak lebih baik nginep di Mas Agus dulu sampai masuk kuliah, biar ada temennya? Nggak ada Mbak Winny, makannya jadi nggak teratur, saya sampe pusing."

"Mereka dijemput supir papanya Mbak Iis. Terus tuh ya, apartemen Mbak Iis yang mereka tinggali tipenya cuma one bedroom, Mbak Tri. Sebelum aku bilang mau numpang, bisa-bisa Mas Gusti udah lempar clurit. 'Pengantin baru kok digangguin!' Mbak Tri tenang aja deh, kalau laper aku pasti makan. Mbak Tri nggak usah takut diomelin Ibu. Kan Mbak dibayar buat bersih-bersih doang. Harusnya bayar gaji dobel dong, biar sekalian bisa siapin makan aku tiga kali sehari."

Dated; Engaged [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang