6 | if the world was ending

21.1K 2.4K 178
                                    


Mail langsung melompat dari kasur. Rasanya seperti mau mati berdiri melihat Gusti sudah tegak di ambang pintu dengan ekspresi terkejut dan murka, bersiap menerjang dan melempar keluar dirinya dari balkon.

Ya Tuhan ... gini amat nasibnya!

Segera Mail raih kemejanya di sandaran kursi dan berlari ke pintu, sebelum Gusti sempat membuat Trinda ikut terbangun.

Shit!

Harus banget temannya datang pagi ini, di saat kebetulan dia ada di tempat pacarnya? Kenapa nggak kemarin-kemarin saat dia dan Trinda lagi physical distancing??

"Tolong jangan di sini, Gus. Jangan di depan adek lo," cicit Mail seraya berusaha mengajak temannya itu menjauh dari pintu kamar. Seketika merasa kerdil ditatap Gusti yang jelas tidak sudi lagi menganggap dirinya teman.

"Lo ...?" Gusti sampai kehilangan kata-kata, menghempas cengkeraman Mail di lengannya. "Anjing banget, emang! Gue tau lo itu bajingan dari dulu, tapi nggak adek gue juga lo tidurin, bangsat!"

Mail hampir menangis.

Sudah bisa ditebak akan seperti ini jadinya apabila Gusti mengetahui hubungannya dengan Trinda. Tapi dituduh memperdaya perempuan yang dia sayang tetap saja menyakitkan. Seolah Gusti nggak pernah mengenal dirinya. Seolah Mail sebejat itu, menghalalkan segala cara supaya bisa menaklukkan incarannya.

"Demi Tuhan, lo berhak ngamuk, tapi jangan di sini." Mail berusaha menenangkan meski nggak yakin akan berhasil.

Gusti mendesis, makin marah mendengar ucapannya. "Bukan elo yang nentuin gue berhak ngamuk apa enggak!"

"Iya, sorry. But please, kita keluar dulu. Kalau mau nonjok gue, jangan di sini. Lo nggak akan suka lihat adek lo lebih belain gue."

"Bangsat!"

Kerah kemeja Mail—yang belum terpasang sempurna di badan—dicengkeram oleh Gusti hingga kusut. Sepasang matanya menusuk tajam. Bukan hanya marah. Mail bisa jelas melihat kekecewaan dan luka di sana.

Selama beberapa saat, Gusti bergeming. Dia menyipitkan mata bergantian ke arah Mail dan sosok adiknya yang masih lelap di dalam kamarnya.

"Gue tunggu di luar." Perlahan Mail melepaskan kerahnya dari tangan Gusti dan mengancingkannya. Dia mengangguk ke temannya, lalu berjalan duluan keluar unit, mencari tempat yang sepi di ujung dekat tangga darurat.

Jantungnya bergejolak selagi menunggu.

Tentu saja dia akan kena hajar habis-habisan. Dan Mail sudah siap.

Kalau mendapatkan restu adalah hal mudah, sudah dari dulu-dulu dia mendeklarasikan hubungannya dengan Trinda pada semua orang.

Ketika Gusti akhirnya menyusul tidak lama kemudian, Mail bisa melihat kilatan jijik di matanya.

Well, yeah. Mail maklum.

Orang terakhir yang diharapkan Gusti menjadi pacar Trinda adalah dirinya. Dan hal terakhir yang ingin dia lihat adalah Mail berada di tempat tidur adiknya. Karenanya, Mail pasrah ketika kemudian dijatuhi bogem mentah di muka.

"Sialan banget lo emang! Selama ini gue anggep kayak sodara, ortu gue gue paksa nerima lo kayak anak sendiri, nggak taunya sampah! Lo nggak pantes jadi manusia, Il!"

Mail membiarkan temannya menumpahkan semua kekecewaan, menyebutkan semua nama-nama binatang dan mengutuknya. Mengingatkan sejarah panjang pertemanan mereka berdua dan betapa dia tidak ingin mengenal Mail lagi.

Tidak mungkin Mail tidak merasa tertohok. Dia tahu betul seburuk apa dirinya, dan seburuk apa yang ia lakukan pada keluarga sahabatnya ini dari sudut pandang Gusti. Tapi dia nggak bisa menyerah begitu saja. Nggak adil untuk Trinda dan dirinya sendiri.

Dated; Engaged [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang