d-16 | keep your head up, princess!

20K 1.5K 138
                                    

Pemenang voucher Karyakarsa chapter sebelumnya: Rfty97 & yul_nda masing-masing 3,5k




16 | keep your head up, princess!



Kalau bulan lalu mereka tinggal di hotel, kali ini Mas Ismail dipaksa menginap di rumah teman. Agak jauh, di daerah Batu, dekat alun-alun. Dapat pinjaman motor juga untuk mobilisasi, karena Batu-Malang lagi macet-macetnya, berhubung sebentar lagi tahun ajaran baru. Yang berarti banyak kendaraan dari luar kota—yaitu para orang tua yang datang untuk mencari kos-kosan bagi anak-anaknya yang hendak masuk kuliah—sehingga bakal repot kalau memaksa tetap mengendarai mobil ke mana-mana.

Karena teman yang ditumpangi Mas Ismail dan Trinda ini adalah pasangan muda yang baru menikah dan belum punya momongan, praktis setiap sore sampai malam kerjaan mereka berempat adalah keliling-keliling kota, menjajal semua kuliner. Trinda hampir nggak punya waktu berduaan dengan Mas Ismail, selain saat mengendarai motor pulang-pergi dari Batu ke Malang setiap pagi dan sore. Tapi bukan berarti Trinda tidak lebih bersyukur, dibandingkan dengan perjalanan pertama mereka yang lalu.

Malah, meski kali ini quality time-nya hanya sebatas ngobrol di atas motor, Trinda merasa obrolan mereka jadi lebih berkualitas, tidak hanya haha-hihi untuk membunuh waktu belaka.

Juga, tidak seperti saat pertama dulu—yang mana Trinda malah disuruh jalan-jalan sendiri di saat Mas Ismail dan Mbak Rachel meeting—di pertemuan dengan tim arsitek dan desainer interior kali ini, Trinda benar-benar diikutsertakan. Terutama, karena masih tahap brainstorming, belum ada eksekusi apapun. Jadi ide-ide segar masih sangat diharapkan. Dan diskusi-diskusi yang dilakukannya beberapa hari terakhir membuat Trinda sadar, kalau ternyata dia mempunyai minat yang cukup besar terhadap desain interior.

Pencapaian terbesar Trinda selama di Malang adalah meyakinkan Mas Ismail bahwa mengusung tema industrial nggak mesti terbatas menggunakan warna-warna bumi. Alhasil, moodboard mereka berubah total, jadi colorful—kombinasi retro dan industrial. Semua wall panel, sofa-sofa kulit mahal, kitchen set dan solid wood furniture dihilangkan, diganti dengan material yang lebih ekonomis.

Kalau moto Mas Ismail adalah 'ada harga ada rupa', maka moto Trinda adalah 'harga semurah-murahnya, kualitas setinggi-tingginya, plus harus aesthetic'.

"Kayaknya kalau Mas beli ruko di lain tempat dan mau renov lagi, mending rekrut aku aja daripada turun tangan sendiri. Biar makin cepet jadi sultan." Trinda ngoceh, setengah mengejek. Soalnya, memang pusing banget membayangkan sofa custom puluhan juta jadi dekil dalam beberapa bulan.

"Udah sultan dia, Trinda. Makanya suka lupa bedain pemakaian pribadi sama kafe. Aku sih dibayar, jadi yes yes aja." Mas Iko, sang desainer interior, cuma ketawa-ketiwi.

Yang diketawain ikut ketawa. "Gue udah muak ngalamin yang namanya bela-belain hunting furniture sendiri ke Jepara biar dapet murah, kali. Capek puol. Now I'm done being too hard on myself. Especially when business goes well."

"Semurah-murahnya jati tua sih nggak murah, Mas." Trinda berdecih, mengingat meja-meja solid wood raksasa yang ada di Nowness Melawai. Tapi Mas Ismail tidak tampak sakit hati.

"Tau amat harga kayu, dek?" Gantian Mas Hamid, sang arsitek, yang menyahut.

Mas Ismail mesem. "Bapaknya punya pabrik furniture. Adiknya Agus ini tuh."

Duo mas-mas di depan Trinda melongo.

Mas Ismail ketawa geli. "Gak mirip yak?"

"Puoool!" Para mas-mas menyahut bersamaan.

Dated; Engaged [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang