d-1 | why we want who we want

61.1K 3K 106
                                    




1 | why we want who we want



"Gue tau, sesemas ini hot abis ... tapi lo bisa berhenti melototin nggak sih? Nggak lucu kalau sampai tampang mupeng lo kena jepret, terus viral."

Winny menarik kebaya Trinda supaya bergeser dari jangkauan mas-mas event photographer yang sedang bertugas.

Meski menurut untuk mundur selangkah, Trinda tidak menyahut, hanya memutar bola mata malas.

Lebay—tipikal Winny. Wong Trinda tadi cuma melirik sekilas. Dan berani sumpah, dia nggak mupeng!

Trinda tau diri, lah.

Malam ini Mas Ismail memang terlihat luar biasa dengan batik slimfit lengan panjang warna navy dan emas yang memeluk sempurna posturnya yang ramping dan menjulang. Kelihatan berkharisma tanpa perlu atribut branded seperti yang sedang dikenakan calon mempelai pria.

Tentu saja Trinda kuat memandang berjam-jam.

Dia bisa mupeng juga kalau perlu, tapi jelas tidak malam ini, di rumah calon besan orang tuanya, di antara puluhan tamu yang hadir, di acara lamaran calon mbak iparnya sendiri.

Jadi, meski jantung berdegup tak karuan, jaim Trinda sudah terlatih. Dan dia cukup yakin pada kemampuannya yang satu ini.


~


"Senyum yang bener, Dek. Nggak enak sama keluarganya Mbak Iis." Ibu Harimurti Prawirodiprodjo, yang paling jago pencitraan sedunia, mencubit pingang anak gadis yang berdiri di sebelahnya diam-diam. Cubitannya kueciiil, sudah pasti sakit, membuat Trinda makin malas senyum di depan kamera karena sudah kelaparan dan pegal kelamaan berdiri.

"Emang dari tadi aku ngapain, Buk?" Trinda balas berbisik, tak lupa melempar kode ke ayahnya yang berdiri di sebelah si ibu, minta diselamatkan.

Bagusnya, belum sempat Bu Hari melanjutkan omelannya, keluarga besar mereka keburu dipanggil sang ayah untuk bergabung ke spot foto di depan backdrop bunga-bunga mawar putih-hijau itu. Karena suasana jadi riweuh, mudah saja bagi Trinda untuk kabur setelah beberapa jepretan lagi, menyusul teman kondangannya yang sudah duluan ke food stall.

"Yang enak apa, Win?" Trinda nanya, sambil matanya mengabsen menu dari ujung ke ujung.

Sebenarnya nggak banyak yang bisa dipilihan, karena memang acara lamaran ini diadakan sederhana dan kecil-kecilan, cuma mengundang keluarga dan teman dekat kedua calon mempelai, yang mana jumlahnya nggak banyak. Keluarga mempelai pria dari Magelang cuma yang benar-benar luang saja yang ikut, karena jarak lamaran dan nikahan cukup dekat, jadinya repot kalau cuti dua kali, mending datang nanti pas nikahan aja. Sementara itu, sahabat-sahabat calon mempelai—Mas Gusti, masnya Trinda, dan Mbak Iis, calon istrinya—jumlahnya juga nggak banyak karena kebetulan mereka berdua satu circle.

"Rendang is lyfe, bestie." Winny menjawab sambil memperlihatkan piringnya yang berisi beberapa macam olahan daging, nggak pakai sayur, nggak pakai nasi. Sungguh terpampang jelas jiwa anak kosannya.

Trinda pergi mengambil piring dan mengisinya dengan sedikit nasi dan rendang, kemudian kembali menghampiri tempat makan temannya.

Sekarang, keluarga Mbak Iis yang bergantian foto dengan calon pengantin, sementara tamu-non-keluarga sibuk ngobrol sendiri-sendiri ambil menunggu giliran.

Dated; Engaged [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang