12 | sambutan pertama

17.3K 2.2K 237
                                    


Kalau dihitung-hitung, mungkin sudah lebih dari sepuluh kali Mail mendatangi kediaman keluarga Gusti.

Biasanya, dia selalu excited, karena datang ke sana sama dengan liburan.

And he's not being hyperbolic.

Keluarga konglomerat Jawa Tengah itu mendiami satu kompleks yang lebih cocok disebut desa wisata karena landscape-nya bikin ternganga. Postcard worthy. Joglo-joglo megah, dengan jalanan bersih dan lebar, taman terawat, berlatar belakang danau buatan, golf court, persawahan, dan lereng gunung dengan pepohonan pinus. Udaranya jelas bersih dan sejuk.

Masih kurang?

Well, yang disebutkan tadi—kecuali lereng gunungnya, tentu saja—adalah properti privat. Perumahan itu, entah ada berapa unit, semuanya ditempati keluarga, mulai dari nenek buyut, kakek-nenek, pakde-bude, paklik-bulik, dan para sepupu. Sedang di sisi lain lahan puluhan—atau ratusan—hektar itu terdapat resort yang fasilitas dan pelayanannya 10/10. Karena gratis, jadi 20/10.

Tapi tentu saja kedatangan Mail kali ini beda rasa.

Apalagi dia betul-betul datang seorang diri, tanpa undangan pula.

"Ini ke mana, Mas? Masuk hotel?" Pak Supir memastikan tujuan Mail, membuat Mail menoleh ke luar jendela.

Gapura tinggi, kokoh, dari batu alam, serupa candi, sudah menyambut di depan.

"Iya, Pak. Masuk aja. Perumahannya emang di dalem situ. Ambil ruas kanan."

Taksi mereka berbelok masuk, cukup jauh sampai menemukan satu pos keamanan di tengah percabangan jalan, lalu mengambil sisi kanan, melawan papan penunjuk arah resort, dan berhenti di depan portal yang menghalangi jalan masuk.

Mail menurunkan kaca di sebelahnya, bertatap muka dengan penjaga keamanan berpakaian tradisional dengan blankon di kepala.

"Ada yang bisa dibantu? Ini jalan ke arah kediaman keluarga, Mas." Pak sekuriti memastikan Mail tidak salah mengambil ruas jalan.

"Saya Ismail, temennya Gusti dari Jakarta, Pak. Mau ketemu Pakde Ardiman."

"Oh, iya, iya." Si Bapak manggut-manggut. "Sudah pernah ke sini? Kalau sudah, dibawa masuk aja, Mas, taksinya. Sampe depan rumah sekalian. Kalau belum, biar dianter."

"Udah sering kok, Pak. Saya masuk sendiri aja. Oh iya, Pakdenya ada?"

Si Bapak merenung sejenak. "Kayaknya belum kelihatan sih hari ini. Mungkin belum balik kerja. Yang barusan lewat, Mas Bagas, baru pulang sekolah. Saya telponin, biar ditunggu di ruang tamu ya, Mas."

Mail berterima kasih dan pamit, menunjuk arah ke joglo pertama yang biasa digunakan menerima tamu.

Bagas tiba dengan mengendarai golf cart tepat setelah Mail menurunkan kardus oleh-oleh dari bagasi. Masih pakai seragam sekolah. Rupanya, dia sudah SMA sekarang.

"Oh, Mas Ismail. Nggak janjian ya? Bude-Pakde lagi takziah di Jakarta lho Mas. Atau ke sini mampir doang?" Si Bocah langsung memberondong dengan pertanyaan. Membantu memindahkan kardus Mail ke cart-nya.

"Emang nggak janjian sih." Kelar urusan dengan supir taksi, Mail pindah duduk ke cart Bagas.

"Yang Ti sama Yang Kung lagi jamnya istirahat. Ketemu nanti pas makan malem aja ya. Sekarang aku anter ke kamar dulu buat naruh barang. Mau istirahat apa makan dulu? Aku sih mau makan."

Mail ngikut saja daripada overthinking sendirian.

Jadilah setelah diantar Bagas ke salah satu joglo kosong untuk menaruh tas, dia mengekor sepupu Gusti itu ke restoran terapung di tengah danau yang kebetulan sedang ramai pengunjung.

"Ayam bakarnya recommended pol. Udah nyoba? Porsinya lumayan, setengah ekor." Bagas kelihatan excited membahas menu. Dia pilih ayam bakar.

"Gue udah makan siang tadi. Mau ngopi aja."

"Oke."

Setelah mendapat tempat duduk di area dekat kipas angin, sambil menunggu kopinya tiba, Mail nanya, "Lo emang hafal semua temennya Agus apa gimana?"

Bagas mengalihkan pandangan dari keramaian area resort.

Terakhir Mail ke sini tahun lalu, hanya ada satu tipe joglo yang dikomersilkan, yang semuanya terbuka. Sekarang, di kejauhan kelihatan unit-unit dengan pagar tinggi. Bagas bilang, unit-unit itu ada private pool-nya, dan dinding joglonya terbuat dari kaca.

"Mas kan yang jadi MC di resepsinya Mas Agus-Mbak Iis. Terus sering ke sini juga."

"Gue inget, pertama kali ke sini lo masih TK. Tapi abis itu kayaknya udah nggak pernah ketemu kalo ke sini."

"Nggak juga. Aku masih sering lihat Mas, kok." Bagas pringas-pringis. "And actually I still owe you an apology."

"Pardon?"

"Waktu ke sini terakhir kali, aku sama temen-temenku nggak sengaja lihat Mas, ehem, ciuman, sama Mbak finalis Puteri Indonesia pas lewat depan joglo kalian. Padahal sih emang beneran nggak sengaja, tapi sama Yang Ti kita semua disetrap dan disuruh minta maaf. Eh, Mas keburu check out, jadi nggak sempet-sempet sampe sekarang. Maaf ya, Mas. Bilangin juga ke mbaknya, kita beneran nggak sengaja. Betewe ... sekarang kalian masih pacaran atau udah nikah?"


Udah cukup ya jumpscarenya Mail. Kasian doi ga sih?

Menurut kalian, Mail masih ketolong apa enggak?

Terus, yang punya tips2 mengambil hati camer, boleh share dongs. Nanti gw sampein ke Mail. Wkwk.

Dated; Engaged [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang