9 | cari mati

19K 2.3K 174
                                    


Selepas melihat Trinda masuk ke taksi online yang akan membawanya kembali ke kantor Relevent, Mail termenung di depan jendela.

Rasanya ... tidak nyaman. Seperti ada yang mengganjal.

Mengulur-ulur menyelesaikan sebuah masalah memang bukan gayanya. Mana bisa dia kembali fokus bekerja sekarang?

Iya, mengurus dana Bali Project itu urgent, karena jadwal pencairannya adalah minggu ini. Follow up kasus Zora juga penting. Setidaknya Mail harus memastikan bahwa aset-aset Zora aman, karena dia nggak berniat pindah outlet setidaknya sampai sepuluh tahun mendatang.

Dan mendahulukan urusan pribadi dibanding pekerjaan di hari Senin membuat Mail merasa tidak bertanggung jawab. Tapi daripada menggila sepanjang minggu?

"Oz, hari ini gue nggak ada agenda, kan?" Mail menelpon Oscar, tapi suara si PA yang lagi duduk di depan ruangan Mail terdengar lebih keras dibanding volume telepon.

"Nggak ada. Talkshow lo besok siang, ini lagi gue editin ppt-nya."

"Ya udah. Gue mau cabut bentar."

"Gak jadi standby nunggu kabar Bu Ivanna?"

"Ilyas aja belom balik dari ketemu Zora."

"Oke deh. Tapi gue perlu tau lo ke mana."

"Ke tempat Iis."

"Wow." Sedetik kemudian, muka Oscar muncul di pintu. "Mau mengobarkan bendera perang?"

"Mengibarkan, kali."

Oscar cuma menatap sinis, nggak merasa perlu mendebatkannya. "Ati-ati, deh. Kalau ada apa-apa, sebelum lo married sama Trinda, gue masih jadi ahli waris, kan?"

Eneg melihat muka centil Oscar, Mail mematikan ponsel dan meraba dompet serta kunci mobil di saku celana, lalu segera beranjak keluar.

Karena ngomong dengan Gusti sekarang adalah mustahil—bahkan temannya itu tidak ikut ngumpul sarapan di Nowness One Pacific Place pagi ini—maka menemui Iis adalah opsi selanjutnya yang dia punya.

Segera dia lajukan Countryman-nya ke kediaman temannya itu.

"Gila lo!" Iis langsung memukulinya tanpa ampun saat membuka pintu beberapa puluh menit kemudian dan menemukan tamu paling tidak diharapkan.

Mail meringis menahan sakit, karena ternyata meski badannya mungil, pukulan Iis nggak kalah sama pukulan Gusti. "Ibu hamil nggak boleh mukul orang, Is. Nggak boleh marah-marah juga. Jangan sampe lo darah tinggi."

"Udah darah tinggi, bangsat!"

"Nggak boleh berkata kasar. Nanti—"

"Bodo Il, bodo! Mau ngapain lo ke sini, heh? Cari mati?"

"Bisa kalem dulu, nggak?"

Iis kesusahan mengatur napas. Jelas terlihat kalau tadi dia memukuli Mail dengan sekuat tenaga. "Mending lo pergi. Lihat muka lo bikin gue pengen melahirkan sekarang."

"Ya Tuhan, Is. Please give me a chance to talk. Okay? Jauh-jauh gue ke sini, masa langsung diusir?"

"Mau ngomong apa?" Iis melotot lebar-lebar. "Nyakitin Agus tuh sama aja dengan nyakitin gue, tau. Trinda? Adek temen lo sendiri? Did you lose your mind? Gue tau lo udah gila, tapi nggak segila ini juga kali. Sebelum bertindak tuh mbok ya mikirin posisi orang-orang terdekat lo. Ya itu juga kalau lu nganggap kita semua penting."

"Is." Mail memegang kedua tangan Iis erat-erat, mencoba menghentikan temannya itu nyerocos sendiri. "Boleh duduk dulu, nggak?"

Iis menoleh ke halaman. "Lo parkir di mana?"

"Di luar."

"Oke, lima menit ya."

Mail sepakat. Ketika sudah sama-sama duduk, dia lalu melanjutkan, "Gue sadar gue gila. Tapi gue sama Trinda itu beneran serius. We're going to get married, bukan sekadar pacaran buat seneng-seneng doang. Terus di mana salahnya kalau gue sama Trinda? Oke gue juga sadar kalau gue bukan mantu idaman kayak lo. Tapi gue sama Trinda berhubungan atas kesadaran masing-masing. She chose me. Lo nggak mungkin ngira gue ngejebak dia, kan, makanya dia mau sama gue? You know me better than this, kan Is?"

Iis menghempaskan tangan Mail yang dari tadi masih memegangi tangannya. "She's just a kid. Dia bilang serius karena muak disuruh ngerjain skripsi. Wajar cewek seumuran dia ceplas-ceplos. Jangan disamain serius lo sama serius dia dong."

"Trust me, serius dia dan serius kita nggak ada bedanya. Umur dua puluh itu bukan anak-anak lagi. Dia tahu apa yang dia omongin."

Iis capek. "Bisa nggak sih lo berhenti bikin drama yang ngelibatin gue? Perasaan gue nggak pernah nyusahin lo. Gini amat lo nggak bales kebaikan orang."

"Sorry."

"'Sorry' kalau lo yang ngomong udah nggak bermakna." Iis menghela napas panjang. Masih pengen marah-marah tapi ingat waktu mereka nggak banyak. "Nggak bisa cewek lain apa?"

"Are you serious?" Mail mendelik.

Iis menghujaninya dengan pukulan-pukulan lagi. "Berbuat jahat, terus nawarin tanggung jawab, that doesn't make you a good man!"

"I'm aware of that."

"Terus mau lo apa?"

Mail menegakkan posturnya. "Gue mau ke Magelang. Gue nggak bisa ngasih tau Agus, at least gue bilang ke elo."

Iis sudah nggak tahu harus ngomong apa. "Gue beneran nggak ngerti harus komen apa. Lo mungkin lebih paham gimana keluarga Agus daripada gue. Gue nggak tahu caranya ngomong biar nggak kedengeran jahat, but your chance is almost zero. Gue yakin lo udah tau itu."

Mail mengangguk, melirik arlojinya. Sebelum pergi, dia bertanya, "Ada tips?"

Iis memukul lengannya untuk terakhir kali, lalu mencubiti bagian yang bertato keras-keras. "Just dress nicely. Potong rambut, cukur jenggot. Cover all your tattoos—oh my God, Il, I'd have a heart attack if I were Mama Hari."

Mail tersenyum kecut, hampir bisa membayangkan bagaimana ekspresi orang tua Gusti apabila dia datang menemui mereka nanti. "Give me your blessing."

"Tau ah, gelap."

Baru juga Mail berdiri dari tempat duduknya, pintu depan menjeblak terbuka, dan sang tuan rumah sudah berdiri di sana. Dengan linggis di tangan!

"LO MAU KITA SHOOTING FILM HOROR, HAH?!" Suara Gusti membahana.

Refleks Mail bersembunyi di balik tubuh kecil Iis.

Dengan cuek, Iis menunjuk CCTV di pojok atas ruangan dengan dagu. "I've warned you. Lo cari mati ke sini. Laki gue lagi di rumah."


PS. Di part 2 w bilang Gusti masih tinggal di apart Iis, di sini w bilang tinggal di rumah, maapin aja ya. Nanti plot2 gak sinkron w edit sekalian pas cetak aja.

Dated; Engaged [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang