8 │sudah luka, ditabur garam

17.6K 2.1K 93
                                    


"Mas?"

Suara itu membuat perhatian Mail teralih dari layar PC yang sedang dia pelajari sejak setengah jam lalu, ganti menatap pintu ruangan yang baru saja terbuka.

Pacarnya sudah berdiri di sana, dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Terlihat jelas bahwa batas kesabarannya hanya 2×24 jam.

"Babe?" Mail melirik cepat penunjuk waktu di pojok layar. "Ngajak maksi, ya? Di sini aja, mau nggak? Kebetulan ada menu baru. Terus juga ini kepala lagi ngebul, nggak bakal sanggup diajak macet-macetan, apalagi ngantre tempat makan lain."

Dengan sabar, Trinda menunggu Mail selesai ngomong, baru kemudian mengacungkan paper bag restoran Jepang yang ternyata sudah ada di ujung jarinya sejak tadi. "Are you done avoiding me?"

Mail berlagak bego. "Me? What did I do?"

Trinda memutar bola mata.

He always knows what he's doing. Kalau Trinda merasa dihindari, berarti memang begitulah adanya. Karena, bahkan ketika nggak bisa bertemu dan telponan selama seminggu berkat agenda padat Mail di luar kota—durasi LDR terlama mereka—Mail nggak membiarkan Trinda ngambang begini. Ntar dulu ya Trinda, ntar kapan?

Sepasang bibir Mail terkatup. Dia menyalakan layar handphone dan menunjukkannya ke Trinda. "Perasaan nggak ada missed call, deh. Semua message juga udah kurespon."

"Iya, emang udah direspon, tapi nggak ada substansinya. Nggak menjawab kecemasanku!" Trinda gemes banget pengen marah, pengen ngomel-ngomel panjang sampai emosi terpendam sepanjang weekend kemarin tersalurkan. Tapi karena rasa rindunya lebih besar, juga karena waktu yang dia punya nggak lebih dari sejam, langsung saja dia tutup pintu di belakangnya, dia letakkan paperbag-nya ke atas meja, lalu berhambur ke pelukan sang pacar. "Nyebelin banget, tau nggak?"

"Sorry ...." Mail menjawab kalem sembari memeluk sama eratnya.

Kangen juga? Jelas. Tapi anxiety akibat peristiwa Sabtu pagi di apartemen Trinda masih membuat perutnya mual dan melilit tiap memikirkan apalagi melihat Trinda—dan atau keluarganya—sampai sekarang. Jadi sejauh ini yang bisa dia lakukan adalah menenangkan diri dulu.

"Sorry mulu, nggak jelas kapan mau introspeksi." Trinda manyun.

Mail menjauhkan si cewek dari pelukannya biar bisa melihat wajahnya.

Makin mual.

Bahkan setelah ditonjok Gusti, dia belum juga memikirkan langkah selanjutnya.

Mau serius dia bilang? Cih. Mail mencibir diri sendiri dalam hati. Serius itu baru wacana, karena bahkan dia belum kepikiran setelah ini mau gimana.

"Baru juga nggak ketemu kemarin doang, tapi Mas kayak udah menua lima tahun gini. Kalau aku nggak ada, Mas makan nggak sih? Bisa-bisanya makin tirus begini."

Mail meringis saat pipinya ditangkup kedua tangan Trinda dan dipelototi. "Makan dong, masa enggak?"

"Lukanya masih nyeri?"

"Udah sembuh." Sembari melepaskan kedua tangan Trinda dari mukanya, Mail bangkit berdiri. Dia lalu menarik satu kursi dari seberang mejanya, menempatkannya tidak jauh dari kursinya sendiri, dan membawa Trinda duduk di situ. "Masih nginep di tempat masmu?"

Trinda mengangguk lesu. "Mbak Iis minta aku di sana sampe dia lahiran."

Mail manggut-manggut, paham kalau itu adalah cara Gusti menjauhkan Trinda darinya.

"I didn't say yes." Mendadak Trinda mengimbuhi.

Satu alis Mail terangkat. "Kenapa?"

"Kenapa harus?"

Dated; Engaged [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang