4 | he showed up, she can't get enough of it
Kalau Trinda mengira pertemuan dengan Mas Ismail malam itu adalah firasat baik, awal dari sebuah kemudahan, maka Trinda salah besar.
Realitanya, kesialan malah datang bertubi-tubi, bagai badai tiada berkesudahan.
Pertama, sebagian besar hasil UAS-nya nggak sesuai ekspektasi meski sudah belajar mati-matian. Jadilah dia harus memohon-mohon tugas tambahan biar nilainya bisa naik sedikit. Akibatnya, di hari terakhirnya di Depok, Trinda terpaksa merelakan Winny berangkat duluan ke Jakarta karena khawatir temannya itu nggak bisa bangun pagi kalau sampai sana kemalaman, padahal besok adalah hari pertama magang mereka.
Jam sepuluh malam, selesai submit tugas terakhir, Trinda baru sempat packing dan pergi mandi. Jam dua belas berhasil mendapatkan taksi online setelah tiga kali di-cancel oleh driver sebelum-sebelumnya. Sampai depan kos jam setengah dua, dan sekuritinya nggak ada, padahal Trinda sudah capek banget, pengen segera merem karena besok pagi harus sudah tiba di kantor pukul tujuh.
Pintu gerbangnya memang nggak dikunci, tapi percuma juga, Trinda nggak bisa masuk kamar karena dia booking via app, belum pegang kunci.
"Tunggu, Neng!"
Gerakan Trinda menyeret-nyeret koper besarnya terhenti oleh suara mamang-mamang dari arah seberang jalan.
Mamang itu mengambil alih koper Trinda dan membantunya membawa benda berat itu masuk.
"Lantai berapa?" Si mamang berkaos oblong, celana jeans pudar, dan sandal jepit kelewat santai itu bertanya.
"Belum tau Mang, baru mau masuk hari ini." Trinda menyesal nggak pergi ke kos Winny atau apartemen Michelle saja tadi.
"Wah, kalau gitu jangan di sini. Tunggu di depan aja." Tanpa permisi, si mamang membawa koper Trinda keluar lagi, ke tempat dia muncul sebelumnya, yaitu teras sebuah convenience store yang anehnya nggak buka dua puluh empat jam, nggak kayak di dekat rumahnya di Magelang, atau di seberang apartemennya di Depok.
Tentu saja nggak ada orang lain di sekitar situ. Jalanan sepi parah, nggak ada kendaraan lewat, tapi suara-suara kendaraan dari jalan besar dekat situ masih terdengar jelas, meski jarang.
"Sekuritinya nggak dua puluh empat jam, Mang?" Trinda lagi-lagi heran. Ini tuh kos yang dia pesan dari penyedia layanan coliving paling populer di Jakarta, tapi kok gini amat? Bangunannya lumayan besar untuk ukuran kos, tapi first impression Trinda jelek sekali. Masih bagusan kos murah meriah di Depok.
"Enggak, Neng."
"Emang terakhir sekuritinya adanya jam berapa?"
"Nggak mesti. Kemarin sih rame karena ada tamu, sampe jam tiga pagi. Ini tadi jam satu keluar kayaknya."
Alis Trinda bertaut. "Kalau boleh tau, nanti ada lagi jam berapa, Mang?"
"Kita tunggu aja Neng, paling bentar lagi balik."
Trinda mau nanya kenapa dia nggak dibolehkan menunggu di halaman kosnya saja, tapi males. Akhirnya dia duduk-duduk di teras convenience store yang sudah tutup itu bersama si Mamang.
Awalnya, mereka duduk agak berjauhan. Lama-lama geser juga mendekati Trinda.
"Suaminya mana?"
Shit. Trinda paling benci ditanyai topik begini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dated; Engaged [COMPLETED]
HumorSekian lama move on, Trinda mendadak CLBK-crush lama belum kelar-melihat mas-mas mempesona berkemeja batik slimfit incarannya delapan tahun silam muncul tanpa gandengan di depan publik untuk pertama kali, plus terkonfirmasi jomblo. Harapan auto terb...