HMP 2

15K 1.4K 186
                                    


Di bawah hujan deras, Gulf menangis sangat keras. Tidak apa-apa, suara tangisannya teredam oleh suara hujan, aliran air mata di pipinya tercampur dengan air hujan. Gulf tidak pernah menyangka bahwa kisah cintanya akan se-menyakitkan ini.

"Kenapa?" lirihnya.

"Kenapa harus aku?"

Jika Gulf memiliki keberanian besar, mungkin ia sudah berbicara. Dia lelah, dia ingin menyerah tapi Gulf tidak ingin kalah. Kalah oleh perasaannya sendiri yang membuat dirinya terlihat seperti orang bodoh.

Tiba-tiba telinganya berdengung, kepalanya sakit dan jalannya mulai terseok-seok. Gulf meraba kepalanya dan memukul-mukulnya pelan, mencoba menghilangkan sakit di kepalanya. Suara-suara aneh mulai terdengar, di hadapannya Gulf merasa banyak orang-orang berpakaian hitam yang akan menyakitinya. Kepalanya tambah sakit, Gulf tidak tahan. Bahkan kini tangannya sudah menjambak rambutnya.

"AAAAAAAAAAA."

"PERGI!"

Gulf berteriak histeris, tangannya masih menjambak rambut sendiri. Sedangkan mulutnya terus mengucap kata 'pergi'. Jalanan sedang sepi, karena hujan mungkin orang-orang enggan keluyuran. Tapi, saat ini Gulf benar-benar butuh bantuan.

Karena tidak tahan Gulf menjatuhkan dirinya di aspal. Lututnya bertemu langsung dengan aspal basah karena air hujan, masih dengan tangan yang menjambak rambutnya Gulf tetap berteriak, hingga akhirnya teriakan itu semakin lemah.

"Pergi ...."

"T-tolong pergi," lirihnya hampir tidak terdengar.

Sekarang, kepalanya serasa berputar-putar. Telinganya sudah tidak dapat mendengar suara air hujan dengan jelas. Bahkan pandangan matanya mulai terasa kabur. Kesadaran Gulf nyaris hilang namun samar dia mendengar suara seseorang yang memanggil namanya.

"KANA!"

Hingga akhirnya, kesadaran Gulf hilang direnggut kegelapan.

---

Aroma minyak telon bayi menguar di sebuah kamar dengan nuansa monokrom. Di kamar yang di dominasi dengan warna hitam dan putih itu terdapat dua orang laki-laki. Satu laki-laki yang tengah berbaring lemah di ranjangnya dan satu laki-laki yang tengah merokok di balkon kamarnya.

Gulf mengerjapkan matanya pelan dan mengusak hidungnya saat aroma minyak telon bayi tercium oleh indra penciumannya. Gulf mencoba mendudukkan dirinya walaupun kepalanya masih terasa sedikit pusing.

"Haus," lirihnya.

Tidak ada jawaban, tangannya masih lemah untuk mengambil gelas sendiri walaupun sudah ada di nakas. Gulf tidak tahu sedang berada di tempat siapa. Entahlah, nanti saja dia bertanyanya.

"Masih pusing?" tanya seseorang datang dari arah balkon.

"Hah?"

Orang tersebut duduk di pinggir ranjang yang ditempati Gulf. Tangannya ditempelkan di kening Gulf, untuk mengukur suhu tubuhnya.
"Haus?"

Gulf hanya mengangguk, tidak berani bersuara. Orang di hadapannya, orang yang sama sekali tidak pernah terlintas di pikiran Gulf akan menolongnya.

"Nih," katanya seraya menyodorkan gelas yang berisi air putih.

Gulf menerima gela itu dengan hati-hati. Kemudian meneguknya sedikit. "Terima kasih, Phi Mew," ucap Gulf pelan.

Mew hanya berdehem sebagai jawaban. Kalian tidak salah, Mew memang menolong Gulf semalam. Tempat Gulf histeris semalam, jaraknya masih tidak terlalu jauh dengan apartemennya. Bagaimana Mew menemukan Gulf, entahlah. Hanya Mew dan penulis yang tahu.

Mew beranjak dari duduknya kemudian duduk di sofa. Mengambil ipad dan sepertinya Mew kembali tenggelam dengan pekerjaannya.

"Phi Mew," panggil Gulf pelan.

"Mm."

"Aku, a-aku lapar."

Mew menghentikan kegiatannya. Kemudian menoleh ke arah Gulf yang kini menunduk seraya meremas-remas kedua telapak tangannya.

"Ya makan lah," ujar Mew ketus.

Gulf semakin menundukkan kepalanya. Matanya terasa panas dan cairan bening sudah berkumpul di kelopak matanya. Gulf lebih memilih kembali berbaring kemudian menghadap ke arah jendela, memunggungi Mew.

Apakah Gulf salah, berbicara bahwa dirinya lapar? Karena nyatanya, tidak ada makanan sedikit pun yang tersedia di atas nakas. Tidak ada, hanya air putih saja.

"Halo ...."

"..."

"Ya, kamar 209."

"..."

"Hm."

Suara Mew terdengar sedang berbicara, sepertinya sedang menelfon. Setelah menutup panggilan telfon, tidak ada usapan atau pun ucapan yang sedikit menenangkan Gulf. Mew malah kembali berkutat dengan pekerjaannya.

Tidak lama suara bel terdengar. Mew beranjak dari duduknya kemudian keluar kamar. Mew kembali dengan satu keresek berisi makanan dan air mineral.

"Hei, bangun," ujar Mew.

"Iya Phi?" tanya Gulf.

"Makan." Hanya satu kata itu, tapi Gulf mengerti. Setelah mendudukkan dirinya Gulf mengambil sekantong kresek itu kemudian melihat isinya. Kekehannya keluar disertai dengan air matanya yang ingin kembali keluar.

Hanya bubur biasa dengan air mineral.

Gulf terkekeh miris.

Siapa yang mengira Mew akan membelikan Gulf makanan yang enak? Menurut Gulf, itu tidak akan pernah.

Baru saja Gulf akan memasukkan makanannya ke mulut. Suara Mew mengintrupsinya.

"Siapa yang menyuruhmu makan di kasur?" tanyanya datar.

Gulf terdiam, memangnya kenapa? Di rumah atau apartemennya pun jika dia sedang sakit, bukan hal aneh jika makan di kasur.

"Pindah. Saya tidak pernah mengizinkan orang lain untuk makan di tempat tidur saya."

"I-iya." Gulf mengalah dan dia lebih memilih mendudukkan dirinya di karpet dekat kasur.

Dalam setiap suapan makannya Gulf memikirkan satu hal. Kalimat yang Mew keluarkan barusan membuat Gulf kepikiran. Kata 'orang lain' benar-benar memenuhi isi pikirannya, apakah Gulf memang bukan siapa-siapa bagi Mew?

Lalu, selama tiga tahun ini Gulf berperan sebagai apa? Kekasih seorang Mew Suppasit? Sepertinya, Gulf tidak pernah merasakan hal itu.

---

Happy reading 🌻 Maaf partnya pendek karena aku bagi dua sama part depan.

Jangan lupa vote dan komennya sebagai bentuk dukungan dan apresiasi untuk cerita ini. Terima kasih  💛

Hug Me Please [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang