HMP 31

13.8K 1.2K 137
                                    


Mew memegang erat surat yang baru saja dibacanya. Dia mengambil cincin itu dan segera memakainya, cincin ini Mew ingat jika Gulf pernah memberikannya satu hari setelah Gulf memaksa Mew untuk membeli gelang.

"Arm gue, gue pengen ketemu Gulf."

"Ngapain?"

"Arm tolong. Atau se-enggaknya ceritain ke gue apa yang terjadi."

Arm menghela nafas lelah lalu memejamkan matanya sebentar sebelum mengajak Mew pergi. "Ayo ikut gue."

Karena mobil Mew yang dibawa oleh Zee, mereka berdua pergi menggunakan taxi. Tangan Mew mendingin, jantungnya berdetak sangat cepat. Dia, dia akan melihat kembali orang yang sangat dia cintai.

"Gue harap lo bisa menerima apa yang lo lihat."

Mew mengernyit, tidak mengerti maksud perkataan Arm. Lalu, Arm dan Mew sampai di sebuah rumah sakit ... jiwa?

"Arm jangan bilang ...," ucap Mew menggantung.

"Ikut gue dulu."

Arm berbicara dengan suster yang berjaga lalu mereka berdua diarahkan ke sebuah kamar. Arm membuka kamar tersebut dan terlihat seseorang dengan rambut yang menjadi lebih pendek tengah duduk menghadap jendela dengan memeluk lututnya.

"Kana," lirih Mew.

"Arm k-kenapa bisa?" tanya Mew linglung.

"Ayah."

Suara yang terdengar sangat pelan itu mengalihkan atensi Mew. Mew mendekat, ingin memeluk tubuh rapuh itu.

Gulf hanya diam memandang kosong ke arah depan. Mulutnya terus menggumamkan kata ayah dengan sangat pelan dan pilu. Mew memilih keluar sebelum memeluk tubuh itu, dia ingin mendengarkan terlebih dahulu penjelasan dan penyebab Gulf menjadi seperti itu.

"Arm tolong jelasin semuanya ke gue."

"Waktu itu, gue dapet kabar kalau Ayah Gulf meninggal. Gue panik dan belum sempet ngasih kabar ke Gulf, padahal hari itu Gulf baru aja pulang dari apartemen gue."

Nafas Arm tercekat saat kembali mengingat masa itu.

"Gue langsung pergi ke rumah Ayahnya, tapi yang gue dapat hanya rumah yang udah hancur dan enggak tersisa. Gue tambah panik setelah warga bilang kalau mereka sempet ngeliat Gulf masuk ke dalam."

Mew masih diam, dia tidak akan menyela atau memotong pembicaraan. Mew ingin mendengarkan semuanya sampai tuntas.

"Gue bener-bener kalut waktu itu. Tapi New datang dan bilang kalau Gulf dan Ayahnya berhasil diselamatkan. Gue enggak mikir gimana New bisa ada di situ, yang gue pikirin hanya Ayah dan Gulf," ujar Arm.

Saat ini mereka tengah duduk di kursi taman. Membiarkan angin menerpa tubuh keduanya. "Tanpa pikir panjang gue langsung bawa Ayah dan Gulf ke sini, ke Thailand. Gulf sempet kritis dan sempet enggak bernafas. Untungnya gue enggak telat, tapi, Gulf enggak cepet sadar dan dia mengalami ... koma."

"T-tunggu, koma?"

Arm mengangguk. "Iya, satu tahun. Jasad Ayahnya udah dikebumikan di sini, di tanah kelahirannya."

"Tapi kenapa lo malsuin berita Arm?"

"Gue mau buat mereka puas. Gue tahu siapa dalang dibalik semuanya, dan gue bener-bener berharap Gulf enggak akan pernah tahu kalau Bundanya terlibat."

"Lalu, kapan Gulf sadar?"

"Gulf sadar bersamaan dengan gue dapet berita kalau Kao dan Bundanya di penjara."

Itu berarti satu tahun yang lalu. Mew benar-benar tidak menyangka bahwa setahun itu Gulf berada di ambang antara hidup atau mati.

"Lo tahu? Gulf bener-bener sayang banget sama lo, dia tulus banget sama lo. Lo enggak akan pernah tahu gimana antusiasnya dia saat cerita tentang lo."

Tiba-tiba Mew teringat satu hal. "Arm, gue tahu dari Perth kalau Gulf udah kecanduan obat penenang, itu karena ...." Mew menggantungkan ucapannya saat melihat raut wajah Arm.

"Gulf itu punya trauma. Dulunya dia pernah menjadi korban penculikan, dia trauma sama pisau, orang-orang berbaju hitam dan kegelapan. Ditambah orang tuanya yang memilih bercerai, dari dulu sampai sekarang Gulf bertahan dengan traumanya. Lo tahu? Bahkan dia mengalami delusi," ujar Arm serak.

"Gulf enggak akan pernah bisa tidur tanpa obat penenang. Tiap malem, dia selalu berharap bisa mendapat perhatian dari lo, dia berharap lo bisa menjadi obat kedua setelah obat penenang sialan itu. Tapi lo bahkan enggak pernah nganggep dia ada."

"Lo tahu Mew? Bagaimana bisa dia berakhir di rumah sakit jiwa karena apa, coba lo bayangin terakhir dia menutup mata Gulf mengalami hal yang buruk, saat dia buka mata sekalipun Gulf terpuruk karena enggak bisa memeluk bahkan melihat raga Ayahnya untuk yang terakhir kalinya."

Arm menengadahkan kepalanya, menghalau agar air matanya tidak keluar. "Coba lo bayangin gimana rusaknya hidup dia. Mental Gulf jatuh, hatinya terluka, tubuhnya rapuh. Gue, gue selalu berharap kalau dengan lo Gulf bisa bahagia, tapi ternyata gue salah."

"Gue enggak akan pernah sudi masukkin dia ke tempat seperti ini, tapi dokter bilang biarkan Gulf mempunyai waktu untuk sendiri."

Mew terdiam dengan mata yang memerah. Dadanya sesak mendengar bagaimana pilunya kehidupan Gulf. Jantungnya seolah tersambar petir.

"Arm, gue bener-bener minta maaf. Maaf karena menjadi penyebab Gulf terluka, tapi gue mohon biarkan gue berjuang buat dia kali ini," ujar Mew.

"Lo enggak perlu minta maaf ke gue. Gue enggak akan pernah ngelarang lo buat berjuang, keputusan ada di tangan Gulf bukan di tangan gue."

Mendengar itu, Mew percaya bahwa Arm memberikan izin untuknya. Sekarang, Mew akan benar-benar berjuang untuk Gulf, membawa kembali Gulf ke dalam dekapannya dan memberikan Gulf kehidupan yang bahagia.

---

Arm berkata kepadanya kalau hari ini Gulf akan dikeluarkan dari rumah sakit jiwa. Tolong jangan berfikir jika Gulf gila, dia tidak gila dia hanya sedang terguncang mentalnya.

Kini Mew berdiri di depan kamar Gulf, Arm membiarkan dirinya menjemput Gulf. Arm bukan dengan mudah memberikan Mew kesempatan, hanya saja Arm tahu bagaimanapun juga satu-satunya kebahagiaan yang bisa Gulf dapatkan hanya ada di dalam diri Mew.

"Kana," panggil Mew pelan.

Gulf sedang tertidur ternyata. Mew mengamati wajah itu, sudah dua tahun lamanya Mew tidak melihat paras indah milik Gulf. Mew mengusap pipi Gulf pelan, hingga Gulf menggeliat karena merasakan usapan di pipinya.

"Phi Mew?" panggil Gulf tidak percaya.

Mew tersenyum. "Iya, ini Phi."

Gulf beringsut duduk dan menjauhkan dirinya dari Mew. "Phi Mew, Phi ngapain di sini?" tanyanya panik.

"Menjemputmu."

Gulf menggeleng kemudian terkekeh kosong. "Phi mau nyakitin aku lagi? Aku enggak mau, Phi."

"Kana, Phi tidak akan menyakitimu lagi," ujar Mew berusaha menggapai tangan Gulf.

Tapi Gulf menghindar. "Enggak, pergi. Phi lebih baik pergi."

"Kana," panggil Mew lembut.

"Enggak! Pergi! Pergi!" teriak Gulf. "Ayah, Ayah tolong usir Phi Mew, Ayah."

Jantung Mew berdetak sangat cepat saat mendengar Gulf berkata seolah-olah ayahnya berada di sini.

"Kana, tenang hei."

"Enggak, Ayah tolong Kana, Ayah."

Gulf semakin histeris dan Mew dengan cepat memeluk Gulf erat, walaupun Gulf memberontak Mew tetap memeluknya. Sampai rontaan Gulf melemah, Mew mengusap kepala Gulf dengan sayang.

"Kana, mau sembuh bersama Phi, ya?"

---

Maaf gais masih ada pahitnya 😭 Janji deh bentar lagi Gupii bahagiaaa 🙈

Jangan lupa vote dan komen yang banyakk yaa 💛

Btw, kalau komennya tembus 50 komen sabii lah besok aku double up lagi, hehe

Hug Me Please [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang