HMP 12

12.6K 1.2K 33
                                    

Happy 1k readers 🎉

Terima kasih buat yang udah membaca dan memberi dukungan cerita ini yaaa 🌻💛

Selamat membaca 🌻

---

Manusia memang tidak pernah luput dari kesalahan. Tidak satu kali pernah mengingkari janji. Tidak bisa tahan untuk tidak kelepasan.

Semua perkataan Mew yang akan menginap kembali malam ini di apartemen Gulf tidak terlaksana. Pasalnya, Mew mendapat telfon mendadak dari seseorang. Katanya seseorang itu sangat membutuhkan kehadiran Mew.

Walau disangkal beberapa kali pun, Mew tetap tidak bisa menyangkal bahwa dirinya teramat sangat panik saat Art menelfon dirinya dan meminta Mew untuk datang ke rumahnya. Semula Mew tidak ingin pergi, tapi logikanya berkata 'Untuk apa kau menginap di sini? Bukankah kau tidak akan benar-benar menganggap Gulf?'

Sampai lah kini Mew tengah berada di rumah Art. Ternyata Art tidak kenapa-kenapa, bahkan saat Mew datang ke rumahnya Art menyambut dia dengan sebuah senyuman. Dan sialnya, Mew tidak bisa memarahi Art karena telah membohonginya.

"Phi Mew, kenapa belum tidur?" tanya Art di depan kamar yang ditempati Mew.

"Phi belum ngantuk, Art."

Art masuk ke kamar dan duduk di pinggir ranjang. "Phi tadi dari mana?"

"Di rumah, Phi banyak pekerjaan." Entahlah, rasanya Mew tidak ingin memberi tahu bahwa semalaman dirinya bersama Gulf.

"Apakah aku mengganggu dengan menyuruh Phi ke sini?" tanya Art sedih.

Mew tersenyum. Sedikit kesal sebenarnya, di saat dirinya akan tidur kembali bersama Gulf, Art menelfonnya dan itu pukul dua belas malam. "Tidak apa-apa, jadi kenapa ke sini hm?"

"Aku tidak bisa tidur. Bisa kah aku tidur bersana Phi di sini?"

"Baiklah, ayo kita tidur."

Mew sedikit menggeser tubuhnya memberikan tempat untuk Art. Tidak lama Art langsung tertidur pulas hanya dengan usapan Mew di lengannya. Mew tidak bisa tidur, dia masih terbayang sedikit pertengkarannya tadi dengan Gulf.

Tadi setelah Mew mengangkat telfon dari Art di balkon Mew kembali ke dalam kamar dan langsung pergi siap-siap tanpa berbicara terlebih dahulu kepada Gulf.

"Phi akan kemana?" tanya Gulf.

Mew tidak menjawab karena panik. Dipikirannya saat ini dia ingin buru-buru sampai di rumah Art.

"Phi?"

"Saya sibuk."

Gulf terlihat bingung, seingatnya tadi Mew sendiri yang bilang bahwa dia tidak sibuk. Tapi sekarang, Mew malah bilang kalau dirinya sibuk.

Mew sudah siap dengan jaket kulitnya. Baru saja akan keluar kamar, panggilan Gulf membuatnya berhenti. "Phi Mew, ada apa?" Gulf tidak buta untuk tidak melihat bahwa Mew sedang panik.

Belum sempat Gulf menjawab, dia teringat sesuatu.

"Art ya?" tanyanya dengan nada lemas. Melihat keterdiaman Mew membuat dirinya yakin bahwa telfon tadi berasal dari Art.

"Phi, pilih aku atau Art?" tanya Gulf.

"Art. Dia lebih membutuhkan saya," jawab Mew dan langsung pergi meninggalkan Gulf yang terdiam.

Bodoh!

Seharusnya Gulf tidak bertanya seperti itu, tidak perlu bertanya yang sudah jelas ia tahu jawabannya.

"Ternyata aku belum se-berpengaruh itu dalam kehidupan Phi Mew," gumam Gulf seraya terkekeh kosong.

Suara dering ponsel membuat Mew tersadar dari lamunannya. Mew melihat si penelfon kemudian memilih menolaknya setelah mengetahui siapa dan mengatur deringnya menjadi silent. Mew lebih memilih memejamkan mata tanpa perduli notifikasi yang masuk berkali-kali ke ponselnya.

---

Off mengumpat saat panggilan telfonnya ditolak oleh Mew. Dia berdecak sebal karena waktu tidurnya terganggu oleh panggilan tiba-tiba yang mengatakan di kantornya sedikit ada masalah.

"Harusnya kan ini tugas Mew. Kenapa jadi gue yang repot," umpat Off.

Sekarang pukul satu malam dan Off tengah berjalan menuju kantornya. Di ruangan kerja dia sudah ada sekretaris Mew yang tengah duduk menunggunya dengan keadaan gelisah.

"Aye, ada apa?" tembak Off langsung

"Begini, em ...." Aye berucap sedikit gugup, pasalnya dia belum bisa memastikan bahwa hal ini benar.

Melihat kegelisahan dan kegugupan Aye membuat Off menghela nafasnya dan memilih duduk di sofa sebrang Aye. "Lo bisa bicara santai ke gue," ujar Off.

Off dan Aye memang seumuran, mereka satu kampus. Tapi tidak kenal terlalu dekat, hanya sebatas tahu.

Mendengar ucapan itu, Aye berusaha menetralkan kegelisahannya dan mulai berbicara. "Gini, gue belum tau ini bener atau enggaknya. Tapi lo inget sama CEO yang dulu jebak Mew tapi malah dia yang ketangkep?"

Off berusaha mengingatnya. "Ah iya gue inget. Kenapa emang?"

"Dia kembali," ujar Aye. "Gue enggak tahu bener apa enggak tapi salah satu karyawan kita ngeliat dia. Lo paham kan maksud gue?" lanjutnya.

"Paham. Kita harus diskusiin dulu sama Mew. Dia yang jadi CEO, dan memang dia yang sepertinya punya masalah sama dia. Walaupun gue belum tahu, Mew itu menyembunyikan banyak hal."

Aye mengangguk, sangat mengerti dengan sikap dan sifat Mew. "Tapi Off, enggak tahu kenapa feeling gue bukan Mew yang bakal jadi sasaran. Tapi ...," ucap Aye menggantungkan kalimat akhirnya karena sedikit ragu untuk menyebut nama itu.

Off melebarkan matanya. Sial, dia tidak terfikirkan sama sekali. Nama seseorang tiba-tiba saja terlintas dipikirannya. "Makasih infonya, gue harap lo terus update tentang dia. Kalau ada info penting lainnya mengenai dia, lo harus cepet-cepet lapor ke gue. Biar gue yang jelasin ke Mew. Lo tahu sendiri sifat Mew kayak gimana, okey?" jelas Off.

Aye mengangguk mengerti dan membiarkan Off pergi meninggalkan ruang kerjanya. Sedangkan Off langsung menjalankan mobilnya dengan kecepatan konstan, tujuannya kali ini ke rumah Gun.

Sesampainya di sana, Off jadi sedikit ragu untuk mengetuk pintu. Ini sudah pukul setengah dua, rasanya sangat tidak sopan berkunjung tengah malam begini.

"Ah iya telfon." Off langsung mendial nomor telfon Gun.

Panggilan pertama tidak diangkat. Barulah ketika panggilan ketiga Gun mengangkatnya dan suara Gun yang serak langsung memenuhi indra pendengarannya.

"Halo Papi, ada apa?"

"Gun. Bisa buka pintunya? Papi di depan rumahmu," jelas Off tanpa pikir panjang.

"Hah?"

"Baby cepat, urgent."

Sambungan telfon diputuskan sepihak oleh Off. Tak lama muncul Gun yang memakai piyama hitam membuka pintu rumahnya. Off langsung mendorong Gun dan membawa ke kamar pacarnya itu. Gun hanya menurutinya tanpa banyak bicara, dia bisa melihat bahwa Off tengah panik, gelisah.

"Papi, ada apa?" tanya Gun setelah sampai di kamar.

Off memegang kedua pundak Gun kemudian mensejajarkan wajahnya dengan wajah Gun. "Baby, dengar dan jangan potong terlebih dahulu apa yang aku katakan, okey?"

Gun mengangguk dan mulai mendengarkan semua perkataan Off. Sesekali Gun mengerjapkan matanya saat dirasa ada yang tidak ia pahami.

"Paham?" tanya Off setelah selesai berbicara.

Gun terdiam sebentar. "Jadi? Aku harus ...."

"Iya, lakuin untuk kebaikan dan jaga sebisa kamu. Bisa, 'kan?"

"Bisa," jawab Gun percaya diri.

---

Haii, gimanaa?? Konflik dimulaii yeyyyy 🙈 Pokoknya dipikiran aku itu udah tersusun gimana konflik dan endingnya, tinggal tunggu sajaa okeeyy. Semoga kalian suka dan ga kecewa sama part ini yaa 🌻

Jangan lupa vote dan komennya. Terima kasih 💛

Hug Me Please [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang