Kenyataan.

8 0 0
                                    

Waktu rasanya cepat sekali berlalu. Sekarang sudah hari Minggu saja. Padahal, kemarin Prissil ingat sekali dia masih berdiri dilapangan untuk melaksanakan upacara bendera yang setiap hari Senin dilakukan. Dan, kini waktunya sudah berjalan.

Pagi-pagi sekali, terlihat wajah antusias yang Prissil tunjukan. Jika biasanya sekarang hari Minggu adalah hari termalas Prissil karena bingung ingin melakukan hal apa, Minggu kali ini dia benar-benar bersemangat untuk bangun dan menyaksikan hari yang menurutnya akan jauh lebih baik.

Disini Prissil sekarang, menunggu diruang tamu dengan tv yang menyalah. Menunggu kedatangan seseorang yang sangat dia nantikan.

Omahnya janji kemarin saat mereka berada di kantor peninggalan ayahnya. Omah bilang, dia akan tinggal bersama Prissil dengan Mira-saudara perempuannya.

Sebenarnya ada rasa takut jika harus menceritakan segalanya yang Mira tidak tahu tentang kedua orang tuanya yang sudah pergi lebih dulu secara bersamaan. Tapi mungkin, ini perintah takdir untuk membuat Mira sama-sama merasa kehilangan seperti Prissil dihari sebelumnya.

Sebenarnya Prissil sudah sejak lama ditawarkan omah untuk tinggal bersama, tapi perempuan itu menolak dengan alasan ingin memulai hidupnya dengan mandiri. Tapi ketika dikabarkan bahwa Mira juga akan tinggal lagi bersamanya, Prissil jadi menepis perkataannya dahulu.

Kehidupan barunya dimulai sekarang.

Prissil berjalan keluar mendengar suara bel dan ketukan pintu yang terdengar secara bergantian. Dengan langkah senang, dia menyuruh pembantu rumah tangganya untuk tidak membukakan pintu untuk tamu. Prissil mau dia saja yang membukakannya sendiri. Karena Prissil yakin, itu adalah dua orang yang sudah Prissil tunggu-tunggu.

Dan benar saja mereka orangnya.

Prissil tersenyum menyapa. "Jadi tinggal disini, kan?" Tanya Prissil sambil mempersilahkan keduanya masuk.

"Kamu udah bilang sama Bunda-papa?" Tanya balik Mira ketika mereka berdua sudah duduk disofa.

Prissil menjawab dengan tersenyum samar lalu menatap omah meminta bantuan.

"Omah gak perlu pembantu!" Perintah omah tepat ketika pembantu rumah tangga Prissil-mba Ine mengantar minuman untuknya.

Tentu saja pembantu itu langsung refleks menoleh kepada omah dengan tanda tanya. Sarkas sekali omah berbicara langsung didepan orang yang memang dia tuju.

Prissil yang tahu kalau omah hanya mengalihkan perhatian ikut berbicara, "Ih nggak omah. Prissil gak setuju!" Bantah Prissil.

Mba Ine yang merasa dibela langsung menghampiri Prissil. Mendekat dan sedikit memegang bahu Prissil yang sedang duduk untuk tetap mempekerjakannya seperti biasa.

"Non, gimana ini?" Tanya mba Ine takut. Dia juga tidak bisa membantah keras kepala omah.

Prissil menoleh kearah mba Ine dengan wajah yang sangat amat meyakinkan. "Tenang, mba. Prissil dukung mba. Tenang!"

Mba Ine hanya mengangguk-anggukan kepalanya saja seolah ikut yakin. Menatap omah yang masih dengan wajah tegasnya.

Mira terkekeh melihat betapa dekatnya majikan dan pembantu rumah tangga itu. "Bunda mana, mba?" Tanya Mira kepada mba Ine.

"Ha?" Mba Ine tentu saja kaget dengan pertanyaan seperti itu.

"Kalo kamu gak mau dipecat. Kayanya kamu harus balik lagi ketempat asal kamu dirumah ini," ujar omah yang melihat wajah kaget Ine.

"I-iya omah. Jangan pecat saya ya omah," ujar Ine dengan nada memohon. Setelah omah mengangguk, dengan berlari kecil, Ine kembali kebelakang menyelesaikan pekerjaannya yang sempat tertunda.

Tentang HarapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang