Marahan(2)

9 0 0
                                    

Suasana kini benar-benar sangat hening saat pertama kali Prissil menduduki kursi penumpang dimotor Arsen. Keduanya masih sama-sama memendam ego masing-masing. Tidak ada yang mau meminta maaf seolah-olah, sikap keduanya memang paling benar.

Kenyataan tidak.

Bukannya saling meminta maaf, mereka malah saling mendiamkan satu sama lain.

Prissil hanya diam. Mengelus-elus pergelangan tangannya yang masih sakit. Karena jujur saja, cengkraman Arsen benar-benar kuat sampai tangannya memerah.

Sampai mereka melewati jalan yang sangat sepi seperti tidak ada pengunjung. Arsen tiba-tiba malah menaikan kecepatan motornya diatas rata-rata membuat Prissil yang tidak siap hampir terjungkal kebelakang.

Mungkin kalau tidak cepat-cepat Prissil menyeimbangkan tubuhnya dan memegang erat pundak Arsen, dirinya benar-benar terjatuh.

Arsen menggerakkan kedua bahunya, "GUE BUKAN TUKANG OJEK!" Kata Arsen dengan nada kerasnya takut suaranya menghilang karena kencangnya suara angin dari motor yang kini dia bawa sangat cepat.

"BERISIK!" Teriak Prissil ikut menaiki nada suaranya.

Dan memasuki jalan yang sudah ramai pengendara, Arsen memelankan laju motornya tidak berani membawa kencang motornya ditempat yang seperti itu.


Prissil yang merasa keadaannya sudah sedikit membaik menarik tangannya kembali dari bahu Arsen dan kembali tidak berpegangan pada apapun.

"Gue gak suka ya lo pegangan kaya tadi. Gue bukan tukang ojek!" Beritahu Arsen. Motornya kini berhenti saat lampu merah dia terima.

"Siapa suruh! Aku gak mau mati muda ya," balik ketus Prissil.

Masih sunyi diisi keduanya. Selama lampu merah yang ingin berakhir sekarang keduanya masih tidak ada tanda-tanda menurunkan ego.

Sepuluh detik diakhir lampu merah, Arsen berujar, "Pegangan! Gue mau ngebut lagi,"

Tanpa banyak omong, Prissil kembali memegang pundak Arsen.

"Pegangan!"

"Ini udah,"

Arsen mengumpat dibalik helm. Menepis kedua tangan Prissil dengan satu tangannya.

Tentu saja perlakuannya yang seperti itu membuat Prissil bingung ditambah takut. "JANGAN NGEBUT!" Beritahu Prissil yang benar-benar teriak membuat perhatian pengendara lain jadi menatapnya.

Arsen menarik tangan satu-persatu tangan Prissil yang berada dibalik punggungnya. Walaupun tidak tau persis tempatnya, tapi Arsen berhasil membuat kedua lengan Prissil sudah memeluk pinggangnya dari belakang.

Karena ulah Arsen.

Bahkan saat waktu didepan itu sudah menunjukkan angka 3, Arsen masih menggenggam tangan itu tanpa berniat melepas.

Prissil juga sepertinya tidak keberatan dilihat dari reaksinya yang tidak menunjukkan apa-apa.

Dan saat lampu hijau sepenuhnya menyalah, Arsen benar-benar membuat motor itu melaju dengan kencang membelah ramai nya kota Jakarta.

***

"Makasih." Kata Prissil yang wajahnya masih terlihat masam.

Tentang HarapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang