Prissil berjalan diarea kantin yang mulai sepi pengunjung. Tentu saja dengan Ghaby disampingnya.
Sebenarnya pertandingan tadi sudah selesai beberapa menit yang lalu, tapi saat Ghaby bilang dia ingin makan, Prissil jadi menemaninya terlebih dahulu sampai sekarang.
Bertukar cerita tentang cerita yang barusan dia alami dengan sangat asik sampai tidak memperdulikan keadaan sekitarnya. Kelas mereka yang sudah terpisah itu membuat mereka jadi tidak memiliki waktu untuk terus bercerita satu sama lain.
"Gak deh. Cabut aja sana lo, Nan."
Prissil mencari sumber suara dan ternyata itu suara Arsen. Pantas saja tidak asing didengar ditelinga. Gelengan tegas Arsen didepan sana membuat Prissil memutuskan prinsip sendiri jika itu penolakan mutlak. Padahal Prissil tidak tahu arah bicara Arsen dan teman-teman nya itu apa.
Semenjak tadi, Prissil malah diabaikan oleh Arsen. Tanpa sebab. Atau, apa karena Prissil memuji lelaki lain didepan Arsen? Rasanya itu alasan yang tidak masuk akal.
Dan jadi lebih tidak masuk akal lagi malah Prissil yang ikut mendiamkan Arsen. Tadi mereka sempat berpapasan dilorong kelas sepuluh. Tapi seolah orang asing, keduanya malah mengabaikan kehadiran satu sama lain.
"Gua mau ketoilet dulu."
Srett!!
"Awss.." lirih Ghaby.
Suara kursi yang sudah lama dan digeser kebelakang itu menimbulkan suara yang nyaring. Tapi lebih nyaring suara Ghaby yang sekarang sedang merintih kesakitan karena punggungnya terkena ujung kursi itu.
"LO SENGAJA?" Tanya Ghaby kesal. Dia sudah tidak memegangi pinggangnya lagi, melainkan menggulung kemeja sekolahnya sampai keatas seolah dia menantang.
Menantang Adnan yang sekarang malah bersikap seolah tidak peduli. Padahal suara nyaring Ghaby berhasil memecah fokus semua orang hang ada dikantin.
"Sorry," ujar Adnan yang langsung pamit meninggalkan.
Ghaby membulatkan matanya tidak percaya. Dia menatap punggung tubuh Adnan yang semakin lama tidak terlihat lagi.
"Lah?" Bahkan teman-teman Adnan yang ada dimeja itu ikut membulatkan matanya mendengar Adnan mengatakan kalimat itu.
Seorang keras kepala dan tidak mau mengalah seperti Adnan tidak mungkin jika mengatakan itu dengan gampangnya.
Dan setelah sekian waktu lamanya, akhirnya mereka kembali mendengar kalimat itu.
"AMIT-AMIT!" Seru Ghaby yang masih kesal. Mengabaikan tatapan-tatapan bingung dari teman-teman Adnan.
"Lo mau pulang sama Arsen?" Tanya Ghaby yang sedikit masih menggunakan nada tingginya.
Sebenarnya itu bukan pertanyaan, tapi perintah untuk Arsen mengantar sahabatnya untuk pulang.
Walaupun agak tidak yakin karena dari awal Ghaby sedikit tidak menyukai Arsen. Mendengar kabar mereka berdua berpacaran saja sudah seperti mimpi buruk.
Bukan karena Ghaby menyukai Arsen juga. Tapi entah mengapa Arsen yang notabennya adalah teman Adnan membuat dirinya mendapat kesan buruk yang sama.
"Boleh-boleh sini duduk dulu!" Suruh Icca dengan wajah ramahnya yang menyuruh Prissil untuk duduk ditempat Adnan tadi.
Prissil menggeleng. "Nggak kak makasih," ujar Prissil yang masih bersikap ramah.
Arsen yang ditujukan pertanyaan malah diam saja seolah tidak mengerti. Dia menatap wajah Prissil memang, tapi tidak dengan tatapan waktu pertama kali mereka berpacaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Harapan
Teen FictionAku yang berjuang, aku juga yang terbuang. Saat harapan yang memang tak pantas untuk di ingatkan. Saat harapan yang hanya menjadi debu dimasa abu-abu. Saat harapan yang memang menyakitkan jika terus diperjuangkan. Dan sekarang, rasaku punah karena k...