Heart Vacancy

134 23 1
                                    


Johnny benci kesepian. Ia tidak suka disaat dia merasa sendiri diantara kerumunan makhluk hidup yang berkelompok. Kalau bersama-sama bisa membuat sumber kebahagiaan, kenapa tidak? Pikir Johnny disaat orang lain lebih memilih untuk sendiri di masa sedihnya.

Maka dari itu, pada pukul dua pagi Johnny mengetuk pintu kamar sang adik yang masih mengurus beberapa dokumen. Natasha memindai Johnny dari ujung kepala hingga ujung kaki seraya menghisap rokoknya, memperhatikan lelaki tinggi di hadapannya dengan wajah kusut, mata sembab dan tubuh bergetar.

"The bomb has exploded."

Gadis itu semakin mengerutkan dahi saat mendengar kalimat pendek tersebut memasuki indera pendengarannya. Ia tidak tau apa yang membuat Johnny pulang dalam keadaan kacau. Tidak ada bau alkohol, hanya ada tatapan sendu yang tidak mencerminkan seorang Johnny Sergio pada hari-hari biasa dimana ia akan tersenyum kepada setiap orang yang berpapasan.

Natasha membiarkan Johnny menguasai tempat tidurnya. Lelaki itu menelungkupkan tubuh diatas kasur, menenggelamkan wajah pada bantal. Sementara dia sendiri kembali duduk di meja kerja dan memfokuskan diri pada pekerjaan yang sempat tertunda.

"She said time will heal," racau Johnny ditengah isakan. "But this won't."

Jemari perempuan itu berhenti mengetik diatas keyboard. Ia meletakkan puntung rokok dalam asbak, lalu bersandar pada kursi. Isakan Johnny cukup membuat Natasha paham, lelaki yang selalu melindunginya sejak ia baru belajar melangkah kini tengah patah hati. 

Mama bilang, anak laki-laki boleh menangis. Menangis adalah sebuah hal yang diperuntukkan oleh siapa saja. Dua bersaudara itu sangat paham dengan kalimat tersebut. Tidak ada manusia yang sempurna. Sekalipun dia selalu menebar kehangatan dan kebahagiaan untuk orang lain, ada kalanya seorang individu akan merasakan kesedihan.

Seperti apa yang Johnny alami saat ini.

"She said she should love herself first before she can do that to somebody else." Ia mengeratkan kepalan tangannya diatas bantal. Johnny mendongak, memanggil Natasha dengan sendu. 

Gadis yang mengenakan sleeping robe ini hanya tertawa kecil memperhatikan Johnny. "Karma hit you real hard. Don't you agree?" tanyanya sambil kembali membakar satu batang nikotin baru.

"Sha, kangen Thalia banget..." lirih Johnny.

"Not my problem." Natasha mengangkat bahu acuh tak acuh tanpa melihat kearah Johnny. Memusatkan perhatian sepenuhnya pada dokumen di hadapan dan sesekali menghisap rokoknya.

Terdengar helaan nafas berat saat Natasha tengah membaca rekapitulasi data bulan lalu. Ia melirik Johnny sejenak, lelaki itu tengah memejamkan mata dan posisi terbaring menghadap atap. Melihat itu, Natasha menghampiri sisi ranjang. Tangannya bergerak menarik selimut hingga menutupi sebagian tubuh Johnny dari dinginnya angin malam karena jendela yang Natasha biarkan terbuka.

"Aku bilang untuk memperbaiki. Dan dengan cara kamu going around with Nicole, itu sudah memperburuk hubungan kamu. Bukannya melarang kamu buat punya hubungan sama temenku sendiri, tapi coba kamu pikir lah, Kak." ucap Natasha dengan pelan. "Urusan kamu sama Thalia belum selesai, malah dibikin semakin buruk. Ibaratnya gelas sudah pecah, terus kamu hancurin lagi pakai palu."

Johnny membuka mata perlahan. Wajah sendunya bersitatap dengan wajah sayu sang adik yang duduk pada sisi ranjang. Mau sebagaimana pun Natasha marah, intonasinya tidak bisa lebih tinggi dari standar orang marah. Kecuali gadis itu memang sudah tidak bisa mengendalikan diri.

"Just like what I said the other day. She's a ticking bomb. And now, she exploded." lanjut Natasha. "Baru menyesal sekarang kan?"

Johnny menganggukan kepala cepat. "Can I get a hug?"

The Cognitive || johnnyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang