"Cucu Presiden ke-empat. Kakek dari pihak Ibunya, Jenderal besar Tentara Negara pada masa penjajahan. Ayahnya lagi menjabat sebagai Kepala Staff Angkatan Darat, dan satu sepupunya Staf Khusus Presiden sekarang."
Keempat lelaki yang mendengarkan penuturan Tevin hanya bisa bergumam takjub. Tidak menyangka, bahwa gadis yang sejak tadi mereka perhatikan ternyata memiliki sejarah keluarga yang sangat penting untuk perkembangan negara tempat mereka tinggal sekarang.
"Up deh, gan!" Yuko mengangkat kedua tangan. "Entar gue nge-date dikawal sama Paspampres."
Saat ini mereka sedang menghabiskan waktu di kedai kopi yang ada di pelataran lobi kampus. Sudah dibilang kan, di kampus ini semua bentuk makanan dan minuman tersedia selayaknya di pusat perbelanjaan. Lagipula, rata-rata mahasiswa pun memang butuh asupan kafein setiap saat untuk mengurangi rasa malas mereka. Tidak perlu ambil contoh yang jauh, ambil saja contoh gerombolan ini. Pagi-pagi sudah nongkrong di smoking area, sementara mahasiswa lain hanya take away order lalu pergi ke kelas masing-masing.
"Yah udah ada pawangnya." ucap Tian begitu melihat seorang lelaki turun dari mobil yang tadi ditumpangi Nicole.
Kedua orang tersebut terlihat dalam obrolan cukup serius. Dan tanpa sadar, lingkaran kelima lelaki ini ikut hening seolah mereka ikut mendengarkan obrolan Nicole dan lelaki berparas tampan itu. Sekilas Nicole melirik kearah mereka, lalu kembali berbincang dengan cowok itu.
"Eh, hah, ke-gap anjir! Pura-pura sibuk lo semua!!" ujar Yuko panik.
Tidak lama kemudian, Nicole melangkah menjauh. Sementara lelaki yang tadi berbincang dengan gadis itu berjalan menghampiri kedai kopi —lebih tepatnya, menghampiri meja yang berisikan kelima lelaki yang terlalu siang untuk masuk ke kelas Pak Harsono.
"Halo, boleh tau ada yang namanya Tian disini?" tanya cowok itu, menunjukkan senyum tipis.
Si empunya nama gelagapan sendiri. Baru menjawab setelah Jef menginjak kakinya di bawah meja. "O-oh, iya. Saya sendiri. Ada apa ya?"
Lelaki berkemeja hitam tersebut menatap Tian sejenak, kemudian menyerahkan dua paper bag berukuran lumayan besar ke atas meja.
"Saya dititipin Nicole untuk kasih ini buat Mas-nya. Dia ngga bisa hadir di acara hunting kedua hari Sabtu depan karena ada urusan yang ngga bisa ditinggal. Kebetulan juga Nicole ngga bisa kasih ini langsung, banyak hal lain yang harus diurus." ujar lelaki itu dengan sopan. "Ini sebagai permintaan maaf dari Nicole, mohon diterima."
Jef dengan cekatan mengintip isi paper bag tersebut lalu dengan cepat pula kembali menutupnya. Ia mendorong ke arah Tian, dan berbisik. "Serius ini kita dikasih kamera profesional?"
"...Hah?"
"BERAPA?"
"TIGA?!"
"Becanda lo?!?"
Johnny mengikuti Tian mengintip isi paper bag tersebut. Benar apa yang dikatakan. Ia melihat tiga kotak kamera edisi terbaru dari merek yang berbeda, lalu satu paper bag kecil di dalamnya yang berisi puluhan voucher dari restoran-restoran ternama.
"Gila." gumam Tian yang terdengar oleh kelima temannya, sementara lelaki yang tadi hanya berdiri canggung.
===
"Is it true that one of Benavent's kids ran away from the house?"
Pertanyaan Sicheng membuat Natasha mengangkat kepala perlahan dari buku, menatap lelaki yang entah sejak kapan sudah duduk di sampingnya pagi ini di taman kampus. Sicheng menatap Natasha dengan serius, berbanding terbalik dengan gadis itu yang menatap Sicheng kebingungan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Cognitive || johnny
Fiksi Penggemar[Bahasa] Completed Definition of Cognitive: Relating to, being, or involving conscious intellectual activity (such as thinking, reasoning, or remembering). Johnny survived his live with thinking, doing things with his reasons, and tried to remember...