Satu

410 53 3
                                    

Noted: kepada everybody pembaca, dimohonkan untuk meninggalkan vote dan comment seikhlasnya.


Thank you

&

Happy reading ...

***

Entah sudah berapa kali aku mendengus, mengembuskan napas panjang, berulang-ulang memandangi satu per satu mereka yang bernasib sama denganku. Duduk beratur di kursi panjang yang terbuat dari alumunium dan diletakkan tepat di samping pintu sebuah ruangan. Masing-masing kami sedang menunggu giliran. Kulirik lagi kertas putih kecil berbentuk petak di tanganku, nomor urut tiga puluh lima.

"Laksmita ...," panggil si perawat. Lagi-lagi bukan namaku yang disebut.
Sejak tadi, telah begitu banyak pasien masuk keluar dari bilik perobatan dokter. Dan kalau mengikuti urutan, seharusnya sudah lama aku angkat kaki dari tempat ini.

Kali ini tidak hanya mendengus, aku yang telah kalut diselimuti rasa bosan tanpa sadar berdecak sampai-sampai wanita paruh baya di sampingku bertanya, "Nomor berapa, Nak?"

"Tiga puluh lima, Bu," jawabku.

"Sabar, ya." Riak wajahnya tersenyum ramah.

Bercampur malu tanpa bahasa, aku mengangguk. Sepertinya si Ibu kesal dengan sikapku yang tidak sabaran.

"Erika Bahari ...." Suara perawat kembali menggema memanggil pasien.

Segera ibu yang baru saja mengobrol denganku bangkit dari duduknya. Tidak lupa menyampirkan tas tangan berwarna maroon ke pundak.
Karena rasa penasaran yang mendominasi, kuberanikan saja bertanya, "Ibu, nomor urutnya berapa?"

"Empat puluh dua," jawabnya lalu pergi.

Cengo, mataku turut mengekori kepergian beliau hingga tubuhnya hilang seiring langkahnya yang semakin jauh masuk ke bilik perobatan.

Sungguh, aku semakin kesal. Bagaimana mungkin ini terjadi. Kutatap lekat pigura-pigura di dinding. Siapa tahu ada tulisan yang menegaskan bahwa klinik ini memiliki misi menguji kesabaran pasien.

Saat mataku sibuk melirik-lirik, tiba-tiba telingaku menangkup suara seseorang tengah memanggil namaku dengan nada yang cukup keras. Untungnya, panggilan itu tidak sampai membuat aku terperanjat.

"Acha, bukan?" tanyanya.

Refleks aku menoleh ke sumber suara. Terpampanglah manusia yang kehadirannya sangat-sangat tidak kuharapkan di sisa hidupku yang berharga.

Hanya kutatap tanpa ada maksud membalas omongannya. Tidak sudi bertegur sapa dengan dia yang telah menggores kenangan buruk di masa laluku.

"Ke sini ngapain? Jangan bilang, lo juga bernasib sama kayak gue," tuturnya meremehkan. Tidak kuacuhkan. Menutup mulut rapat-rapat. Kalau bukan di tempat orang berobat, sudah kusiram air ke mulut jahatnya itu.

"Lo tahu nggak, Cha. Setelah keguguran dua tahun lalu, tahun ini, bulan ini, rahim gue dipercayakan lagi untuk menaungi sebuah kehidupan. Di sini ada buah cinta kami. Gue dan Mas Chubby," ucapnya masih dengan gaya mengejek seraya mengelus perut yang terlihat rata di balik kemeja hijau yang dia kenakan.

Chubby adalah panggilan sayangnya untuk Raka. Entahlah dari mana dia mendapatkan panggilan itu. Padahal pipi Raka tidak tembem sama sekali. Cungkring? Iya.

Suamiku Kurir Resek (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang