Part 4-Sahabat

837 148 74
                                    

Tzuyu mengacak surai kebingungan. Tubuhnya letih, tenaganya dimakan pekerjaan seharian. Selesai dari sini lanjut ke pekerjaan sana, begitupun seterusnya. Tzuyu benar-benar nyaris ambruk.

“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” ujarnya frustasi karena masalah baru lagi. Nafasnya menggigil membayangkan cincin itu jatuh ke tempat lain atau yang lebih buruknya hilang. Benda itu satu-satunya yang akan dia jual sekarang. Cincin itu seingatnya masih dia bawa berlari kemarin malam, sewaktu kabur dari para pria mata keranjang yang mau mengerjainya. Tapi sekarang cincin itu tak tampak dimanapun.

Sudah dicarinya kemana-mana sampai membuat barang-barang di kost-annya berantakan. Tamatlah sudah. Hanya cincin itu yang bisa dia harapakan, setidaknya membayar uang kost yang sudah nunggak dua bulan. Bisa-bisa dia di usir sama ibu kost kalau begini.

Tzuyu menunduk lagi dan mencari dibawah kursinya yang sudah tua, tidak ada. Mencari ke tempat tidur ukuran 3 kaki juga tidak ada. Tzuyu merasa akan menangis. Gajinya sudah habis buat biaya ibu ke rumah sakit. Sekarang —apa yang harus Tzuyu lakukan?

Didudukannya badannya dan mulai beristirahat, memandang langit-langit yang catnya mulai memudar.

Tzuyu membayangkan betapa sulitnya hidup yang harus dia tempuh. Kenapa ya Tuhan seolah-olah menutup mata dan tidak mendengarkan doanya selama ini? Ujarnya terlalu sering.

Tzuyu hanya ingin bahagia sebentar saja dan beristirahat tanpa memusingkan hari esok. Tidak bisakah, Tuhan?

Meskipun pekerjaannya tidak dibenarkan dalam agama manapun, Tzuyu selalu menyempatkan dirinya untuk beribadah. Dia selalu rajin untuk ke Gereja setiap minggunya. Selalu berdoa sebelum melakukan aktivitasnya, dan selalu membantu orang yang sedang kesulitan disekitarnya. Tzuyu juga bukan orang jahat.

Apa karena aku seorang jalang, Tuhan tidak mau membantuku dan menolak semua doaku? Tetapi Tuhan... itu aku lakukan untuk membantu ibu. Aku tak menempuh pendidikan yang tinggi. Tak juga memiliki modal bila membuka usaha. Hanya pekerjaan itu yang mendatangkan uang dengan cepat.

Apakah sekarang Tuhan sudah membenciku?

Kata-kata diatas sering Tzuyu utarakan dalam hatinya. Seolah mengajak sang pencipta ngobrol barang sejenak mendengarkan semua curhatnya tentang pahitnya yang harus Tzuyu jalani.

Tzuyu masih muda sekali. Tzuyu juga ingin melanjutkan sekolah dan bermain bersama dengan teman-teman seumurannya. Tetapi temannya hanyalah Seulgi Kang, satu-satunya teman. Tetangga sebelah kost yang sangat baik. Meskipun begitu setidaknya tidak separah Tzuyu. Dia kerja di kantoran dengan gaji UMR. Sedangkan Tzuyu?

Seulgi masih gadis polos dan suci, punya gaji cukup untuk dirinya sendiri dan orangtua yang sangat baik. Pasti juga akan ada pria baik-baik yang menikahinya. Beda dengan Tzuyu, boro-boro memikirkan menikah suatu saat. Lepas dari semua beban ini saja tidak bisa. Mana ada pria yang mau dengan gadis super kotor, lacur dan kaya akan masalah seperti dirinya.

Para pria akan pergi jauh-jauh dan menghindarinya.

“Mikir apa sih aku ini?” Tzuyu tertawa miris, diikuti air mata yang menggenang di pipinya. Senyum yang dia paksakan berakhir dengan bahu yang menggoncang pertanda Tzuyu sedang menangis.

“Aku hanya ingin bahagia. Kenapa sulit sekali rasanya?”

Tzuyu bukan tipe orang yang suka mengasihani dirinya sendiri. Tetapi terkadang dia merasa sangat jauh dari Sang Pencipta, sehingga dia merasa tak ada satu hal baik pun yang patut di syukuri kecuali bernafas di hari ini.



🥀


Aroma semerbak kopi dan roti menyeruak seisi kafe. Hari ini cuaca sedang baik dan kafe lumayan ramai dikunjungi. Espresso, latte, cappucino, dan yang terakhir piccolo, bukan papi chulo.

༄ᵗᵃᵉᵗᶻᵘ; 𝗛𝗲𝗮𝘃𝗲𝗻𝗹𝘆 𝗦𝗶𝗻𝘀 1 🔐Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang