Bab I

2.7K 156 0
                                    

Derap kaki pria usia kepala empat bagai pertanda atensi harus terpusat pada satu arah. Ini masih Jeffrey Alcander sendirian, sedang masuk ke kamar tamu untuk melihat pemandangan luar biasa indah menurutnya. Seorang gadis bergaun burgundy, tanpa ada gemerlap berlian selain sebuah permata di kalung emas yang melingkar pada kulit tanpa cacat.

Saling memberi senyum, menyapa sebelum ada lebih banyak pasang mata memberi selamat. Perempuan lain sebagai penata rias izin pergi, mau memberi waktu kliennya agar lebih leluasa berbincang. Baik gadis bersurai legam maupun pria dengan setelan tuxedo sama-sama gugup. Bukan pertama kali bagi Jeffrey memberi pengumuman di depan khalayak ramai, bukan sampai hari ini ada tiga pasang mata dalam tubuh dimana darahnya mengalir.

"Beautiful."

"Thanks."

"Siap ya?"

Si perempuan mengangguk, memberikan senyum manis pada pria dihadapan meskipun masih harus mendongak. Senagaja dia tidak memakai sepatu kaca berhak tinggi, kisahnya bukan tentang Cinderella yang bertemu pangeran dan hidup bahagia. Dalam buku dongeng milik perempuan itu masih ada tiga pangeran lain yang perlu diyakinkan, diberi perhatian dan kasih sayang sama rata.

"Aku yakin mereka bisa terima, aku kenal baik anak-anakku."

Sedangkan di ruang keluarga, Mariel Alcander masih berfikir ulang kenapa dilarang keras membawa pasangan padahal dia mau pamer kalau hubungan dua tahun bersama Michelle berjalan lancar, tanpa hambatan apalagi orang ketiga. Lagi, sebenarnya sekarang bukan waktu libur jadi kesempatan bisa menggandeng tangan kekasihnya di pesta jadi makin besar. Menikmati waktu luang sampai ada orang lain bergabung di kegiatan makan semangka sebelum pesta mulai. Mariel, putra sulung Jeffrey dengan kecintaannya pada buah semangka sedang menatap rambut blonde milik adiknya.

"Harusnya rambut biru aja," komentar pertama terlontar kala Jendral Alcander, putra kedua datang sembari mengancingkan kemeja hitam di pergelangan tangan. Sementara yang diberi komentar menatap datar, bukan hubungan kurang akrab. Cuma memang Jendral tidak ramah kepada siapapun kecuali kucing jalanan di dekat kampus.

"Ayo taruhan, yang kalah cat rambut pink."

"Dih ogah."

Jendral menaikkan satu alis, memberi tatapan mengejek pada pemuda yang baru saja masuk dengan lengan kemeja yang digulung hingga siku. "Emang lo diajak?"

Sagara Alcander, putra bungsu dari Jeffrey mulai menautkan alis kurang suka. Selalu begitu, mentang-mentang sudah lebih dulu lepas seragam jadi menganggap Sagara masih kecil. Padahal dia sudah tujuh belas tahun, sudah punya KTP dan boleh berkendara sendiri. Setelahnya Mariel memberi senyum kecil, sedikit tergelitik karena sikap adiknya.

"Game apa?" tanya Mariel.

"Among Us."

"Gak, trauma."

"Gimana kak? Masih musuhan sama Katy?" tanya Sagara membuat Mariel kembali mendengus kesal. Demi apapun, kenapa bisa ada orang ketagihan main Among Us padahal jelas itu game pemutus tali pertemanan. Mariel lantas mengangguk kecil, masih sebal bukan main. "Masih."

"Maybe emang takdir kalian harus musuhan dulu."

"Mana ada."

Sagara tak menghiraukan bantahan kakak tertua, ia justru lebih tertarik membujuk Jendral akan satu hal. "Bang, besok pinjem sepeda ya?"

"All of sudden?"

"Mau main sama Winolla."

"Gak, beli sendiri," tolak jendral. Bukannya sudah jelas dia akan diberi jawaban seperti itu tapi memang benar juga kata JKT48, bila tidak dicoba tak akan tahu. Sagara kemudian mengeluarkan jawaban satu kata penuh penekanan. "Pelit."

ALCANDER [Jaehyun Jung]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang