Sagara bukan mau merasa paling tersakiti karena ketika melihat keadaan Sarah, pemuda itu seratus delapan puluh derajat lebih baik. Hanya saja mendengar Jeffrey sampai hati meninggikan suara yang mana sudah membentak tepat di hadapan matanya membuat sedikit bagian diri pemuda itu pecah. Pun dengan Jendral, hendak memberikan uluran tangan agar mampu memberi ketenangan di bahu si bungsu namun terlalu lambat.
Pundak tersebut sudah lebih dulu menjauh. Sagara tidak mau lari ke rumah Naomi, tidak pula mengurung diri di dalam kamar dengan dalih mempersiapkan diri. Semua sudah siap, teriakan barusan sudah menjadi pendorong besar sekaligus kesadaran jika kesahalahannya benar-benar fatal. Maka diketuk pintu berwarna hitam secara perlahan, saat suara lirih sudah mempersilahkan untuk masuk baru langkah kakinya berjalan setenang mungkin.
Sarah menahan suara supaya tidak bergetar, melihat ada bekas air mata di mata Sagara ternyata cukup membuat hatinya nyeri. Aneh, dia belum pernah diberi panggilan ibu namun sudah lebih dulu terbawa perasaan pada setiap afeksi.
"Maafin Kak Sarah ya."
Lalu Sagara mendongakkan kepala, menatap dengan mata kepala sendiri bahwa perempuan itu memberi raut wajah tulus. "Kenapa?"
"Maaf kemarin Kak Sarah nggak bilang kalau ada sakit maag, besok-besok kalau mau makan kesana pasti kakak temenin tapi kayaknya nggak bisa kalau makan berdua."
"Kalau gitu jangan."
Sarah diam, sepertinya memang sudah selesai. Apalagi ucapan Mariel akan sikap Jeffrey pada Sagara benar-benar terus berputar dalam memori Sarah.
"Jangan suka buat diri sendiri sakit, jangan maksa kalau memang diluar kemampuan."
"Sudah keputusan final ya, Sagara?"
"Iya. Tolong jangan sakit lagi."
Akhirnya suara lemah kembali terdengar, kali ini lebih pelan dan penuh ketenangan. "Sekali lagi maaf ya kalau selama ini Kak Sarah terlalu maksa buat jadi mama kamu."
Panggilan Kak Sarah ternyata menghantam lebih kuat daripada intonasi sang ayah ketika memberikan peringatan. Mendengar bagaimana perempuan dihadapannya bahkan sudah rela menyerahkan semua kalau memang dirinya tetap memilih denial cukup membuat perasaan pemuda tujuh belas tahun bak air di daun talas.
"Aku mau minta maaf," sergah Sagara sebelum Sarah kembali bicara lebih banyak.
"Loh kamu nggak salah apa-apa."
"Tinggal dimaafin, susah banget ya?"
Sarah tersenyum. "Iya-iya, kakak maafin. Kalau yang tadi, Sagara udah maafin belum?"
"Udah."
Pemuda yang diketahui sudah masuk masa puber sekarang tinggal diam, tidak tahu pikirannya bercabang kemana. Sarah tak berusaha bicara banyak, sekarang sudah paham juga mengerti kalau memang ketiga anak Jeffrey masih kesulitan menerima kenyataan tiba-tiba. Dahulu, waktu pertama kali bertemu Jeffrey dia malah berfikir akan berakhir dengan salah satu putra pria itu mengingat dari pertama kali bertatap muka, si duda sudah menaruh atensi lebih.
Namun takdir agak lucu, Sarah akui. Bukan tertarik dengan salah satu Alcander muda, dirinya malah lebih terpana pada bagaimana cara Jeffrey memperlakukan perempuan. Dari mantan kekasih yang mana adalah teman sebaya atau hanya berbeda beberapa tahun, ternyata menjalin hubungan dengan Jeffrey sangat berbeda. Bahkan awalnya dia sempat berfikir dijadikan pelarian karena penat kerja.
"Udah clear kan? Aku mau kerumah Naomi."
"Iya. Lain kali Sagara cerita aja kalau ada uneg-uneg biar kakak tau harus ngapain."
"Kebalik." Langkah yang tadinya sudah hendak menjauh justru berhenti, tubuh tinggi berbalik badan. Tadinya mau langsung memberikan semua kekesalan dalam dirinya namun melihat pandangan bulat dari Sarah seperti sedang memberikan pengharapan besar, satu helaan nafas keluar dari Sagara.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALCANDER [Jaehyun Jung]
FanfictionHidup Jeffrey Alcander, duda kaya raya anak tiga bersama istri baru bak kisah romansa tanpa problematika, jika saja ia lebih mengenal tiga putranya dengan baik. [⚠] 15++ INGAT INI CUMA FIKSI!