Bab XXIII

512 52 18
                                    

Perempuan paruh baya kini duduk menggunakan kaca mata dan menatap satu per satu pasang mata dalam ruangan. Kebanyakan masih orang tua sendiri meskipun sebagian hanya sempatkan datang beberapa menit sedangkan ada satu yang sangat mencuri perhatian. Perempuan usia kisar duapuluh, datang dengan menggunakan setelan anggun dan senyum ramah semenjak mereka sama-sama baru injakkan kaki dalam ruangan.

"Sagara Alcander."

Sarah berdiri dari tempat duduknya lantas mengambil hasil evaluasi selama tiga bulan, hanya disajikan dalam bentuk satu lembar kertas berupa nilai tugas dan ulangan. Tidak ada masalah dalam nilainya, mungkin hanya perlu ditingkatkan mengingat si bungsu ingin sekali masuk ke universitas nomor satu dan menginginkan jurusan kedokteran.

"Akhir-akhir ini Sagara lebih tertarik untuk bermain basket. Sebenarnya itu kegiatan yang positif, dia suka olahraga. Tapi mengingat sekarang posisinya sudah kelas duabelas, akan lebih baik kalau Sagara mengisi waktu luang dengan belajar," jelas wali kelas.

"Sagara sampai meninggalkan kelas atau tidak, bu?"

"Pernah sekali, katanya kurang enak badan tapi justru tinggal di ruang P.E sampai ditarik kembali oleh Naomi."

Sarah mengangguk kemudian tersenyum. "Baik, terima kasih. Nanti akan saya diskusikan dengan anak saya, Sagara."

Perbincangan serius mengenai minat bakat dan tujuan sekolah Sagara sudah jadi bahasan untuk berdua karena sebelum kegiatan pertemuan dengan wali murid, terdapat sebaran angket mengenai universitas dan jurusan yang diinginkan siswa. Anaknya menunggu di luar kelas dengan raut khawatir, menurutnya akhir-akhir ini nilai apapun itu tidak mengalami peningkatan padahal dari awal naik kelas dua belas sudah sesumbar ingin masuk kedokteran.

"Anak mama pinter banget nilai matematikanya bagus terus!"

Seruan yang pertama kali keluar dari bibir Sarah buat si bungsu memilih bungkam. Agaknya yang di hadapan masih ingin kembali lontarkan komentar dan Sagara siap sekali apabila dapatkan banyak koreksi. "Lihat sayang, nilainya bagus-bagus. Mama bangga banget kamu masih bisa maintain nilai padahal sibuk basket juga."

Senyum tipis terulas dari Sagara sampai Sarah terus berikan usapan di lengan kanan bahkan ketika si pemuda ajukan untuk lihat dengan mata sendiri. Nilainya masih sama seperti semester kemarin, belum ada peningkatan signifikan dan juga belum dalam taraf aman menurutnya. Tahu begitu, tak perlu dia ikuti kompetisi basket meskipun dalam hati puas bukan main kalau ternyata imbasnya adalah nilai diujung tanduk.

"Sagara jangan kecil hati ya? Nilainya sudah bagus kok, apalagi kamu juga dapat juara di kompetisi basket. Mama super bangga sama Sagara. Mungkin memang perlu ditingkatkan lagi kalau mau masuk kedokteran tapi jangan dijadikan beban."

Seketika ia merengkuh tubuh yang lebih kecil, masa bodoh kalau di depan beberapa siswa lain. Biar saja mereka iri tidak punya satu yang dipanggil sebagai ibu macam Sarah Fleur Alcander. Perempuan ini puji hasil kerja kerasnya, katakana kalau ia bangga punya si bungsu. Hatinya seketika rasakan hangat, selama tujuh belas tahun lebih bernafas, ada satu yang bangga dengan apa yang mampu ia capai.

"Terima kasih, ma. Terima kasih banyak sudah bangga sama Sagara."

Sarah berikan usapan lembut pada punggung anaknya, meski harus sedikit berjinjit karena sekadar informasi, meski statusnya bungsu tapi Sagara adalah yang paling tinggi sekarang diantara dua kakaknya. Sudah hukum alam atau bagaimana kalau adik akan selalu lebih tinggi dibanding kakak.

"Sagara mau ramen nggak?"

"No, I wanna eat some cakes from you bakery, can I?"

"Absolutely yes, Mr. Alcander."

ALCANDER [Jaehyun Jung]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang